Dalam hiruk pikuk revolusi digital, pinjaman online (pinjol) bermetamorfosis menjadi jalan pintas keuangan yang menggoda. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis Kompas, 29 April 2025, terdapat 97 platform pinjol legal di Indonesia. Modal utamanya hanya kartu identitas dan bukti domisili. Dana cair dalam hitungan jam. Namun di balik kemudahan ini, tersembunyi lubang gelap yang menjerat banyak perempuan.
Pebruari 2025, pembiayaan pinjol melonjak hingga Rp80,07 triliun. Ironisnya, 53,75 persen penerima pembiayaan adalah perempuan. Angka ini mengungkapkan sebuah kenyataan pahit bahwa perempuan menjadi aktor dominan dalam penggunaan layanan pinjol. Kondisi hutang melalui pinjol seringkali bukan karena pilihan rasional, melainkan karena desakan hidup akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kebutuhan mendesak modal usaha kecil.
Fenomena ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai masalah ekonomi mikro individual. Ini adalah sebuah persoalan struktural yang berkaitan erat dengan literasi keuangan yang rendah dan jebakan sistemik yang diatur oleh mekanisme kapitalisme digital. Perempuan dalam banyak kasus, berhadapan dengan ketidaksetaraan informasi dan akses finansial yang adil.
Dari perspektif teori literasi keuangan, individu dengan literasi rendah lebih mudah mengambil keputusan impulsif, salah membaca risiko, dan terjerumus pada skema pembiayaan berbiaya tinggi. Pengetahuan dasar mengenai bunga berbunga, denda keterlambatan, serta hak-hak konsumen finansial seringkali absen dalam pengambilan keputusan mereka.
Perempuan berhak atas masa depan tanpa utang dan kekerasan. Literasi keuangan bukan sekadar pilihan, melainkan tameng pertama untuk melindungi martabat, mimpi, dan masa depan mereka dari jebakan pinjaman online.
Di sisi lain, pendekatan kriminologi, khususnya teori victim precipitation oleh Marvin Wolfgang, menjelaskan bahwa korban kadang tidak sepenuhnya pasif. Kondisi kerentanan seperti kebutuhan ekonomi mendesak, membuat perempuan lebih rentan terjebak dalam dinamika kekerasan berbasis pinjol ilegal, di mana pelaku pinjol memanfaatkan kelemahan struktural ini untuk menjerat mereka dalam perangkap utang.
Lebih mengerikan lagi, kegagalan membayar utang pinjol memicu konsekuensi kekerasan digital yang sistematis. Kekerasan itu sebagaimana pelanggaran melalui penyebaran data pribadi, pelecehan berbasis daring, ancaman sosial, hingga tekanan psikis. Mereka yang gagal bayar kerap mengalami penyebaran data pribadi, foto, bahkan fitnah melalui media sosial dan pesan massal kepada keluarga dan kolega.
Meskipun UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan UU ITE telah mengatur perlindungan terhadap nasabah pinjol, implementasinya masih jauh dari efektif. Banyak korban perempuan bahkan tidak memahami bahwa mereka memiliki hak untuk melapor atau mekanisme untuk melindungi privasi mereka dari intimidasi.
Ada sebuah ironi besar. Negara hadir mengatur industri ini, namun ketidakadilan informasi antara pemberi pinjaman dan peminjam tetap menganga lebar. Pemberi pinjaman dilengkapi algoritma canggih untuk menilai risiko, sedangkan peminjam bertumpu pada ketidakpastian dan ketergesa-gesaan.
Tren kenaikan pinjaman online bukan sekadar angka statistik. Ia adalah refleksi nyata dari krisis keadilan ekonomi berbasis gender. Ketika perempuan menjadi kelompok mayoritas penerima pembiayaan pinjol, pertanyaannya bukan lagi mengapa mereka meminjam, tetapi mengapa sistem mendorong mereka untuk mengambil risiko sebesar itu tanpa proteksi yang memadai.
Literasi keuangan yang sehat adalah fondasi perlindungan pertama. Setiap perempuan harus dibekali kemampuan memahami produk keuangan, menghitung total kewajiban, dan mengenali tanda-tanda predator digital. Program literasi keuangan harus lebih dari sekadar seminar seremonial. Program literasi keuangan harus membangun muscle memory keuangan yang membuat keputusan finansial menjadi respons sadar, bukan impuls emosional.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!