Sejumlah 1.967 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) memilih mundur setelah lulus seleksi nasional tahun 2024. Ini bukan sekadar angka, melainkan alarm keras bagi pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah, bukan pada sistem rekrutmen semata, tapi dalam keseluruhan manajemen talenta nasional.
Fakta bahwa lima instansi pemerintah seperti Kemendikbudristek, Kemenkes, Kominfo, Bawaslu, dan Kementerian PUPR menjadi "penyumbang" terbanyak pengunduran diri, menunjukkan bahwa fenomena ini bukan insidental, melainkan sistemik.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, 1.265 CPNS mundur karena penempatan yang terlalu jauh dari domisili. Ini menjadi refleksi bahwa kebijakan ASN masih abai pada prinsip fit for purpose dan fit for people, dua pilar utama dalam teori pengembangan SDM modern.
Mundurnya ratusan CPNS dari formasi dosen juga menjadi ironi besar di tengah gempita pemerintah mendorong "Indonesia Emas 2045" lewat kualitas SDM unggul. Mengapa mereka yang sudah lolos justru memilih pergi?
Alasan-alasan seperti izin keluarga, merawat orangtua sakit, hingga studi lanjut menunjukkan bahwa negara belum hadir secara empatik dalam memahami kebutuhan personal para talenta muda bangsa ini.
Lebih miris lagi, sebagian CPNS merasa tidak berhak lulus, atau tidak bisa memenuhi dokumen. Ini bukan sekadar human error, melainkan cerminan lemahnya komunikasi, literasi kebijakan, dan pembinaan sejak awal proses rekrutmen.
Ketika talenta terbaik memilih mundur setelah lulus CPNS, masalahnya bukan pada mereka, tapi pada sistem yang gagal memahami dan memanusiakan.
Ketika seseorang menolak posisi ASN yang notabene diidam-idamkan jutaan orang, maka masalahnya bukan pada "mereka yang tidak loyal," melainkan pada sistem yang gagal menumbuhkan loyalitas.
Kita sering menyamakan ASN dengan pekerjaan "abadi", padahal generasi baru melihat pekerjaan sebagai purpose dan experience, bukan hanya jaminan gaji pensiun. Ini pergeseran paradigma SDM yang belum direspons dalam desain kebijakan ASN kita.
Fenomena ini jelas bertabrakan dengan prinsip good governance, khususnya dalam aspek efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas kebijakan publik. Biaya seleksi nasional CPNS yang mahal jadi sia-sia karena hasilnya formasi tetap kosong.
Dampak langsung dari pengunduran diri massal ini adalah formasi kosong yang tidak bisa diisi kembali tanpa regulasi darurat. Artinya, pelayanan publik terancam stagnan karena kekurangan tenaga kerja kompeten.
Tak hanya itu, citra negara sebagai pengelola talenta juga tercoreng. Bila birokrasi gagal merawat talenta terbaiknya, bagaimana bisa negara dipercaya memimpin transformasi digital, kesehatan, dan pendidikan?
Masalah mendasarnya terletak pada ketidakhadiran sistem talent management berbasis data. Pemerintah tahu siapa yang lulus, tapi tidak tahu siapa mereka sesungguhnya, baik latar belakang, motivasi, harapan, dan keterbatasan pribadi.
Pemerintah harus segera melakukan reorientasi kebijakan ASN, dari pendekatan administratif menjadi pendekatan berbasis human capital development. Ini bukan hanya tentang menempatkan orang, tapi membangun karier dan loyalitas jangka panjang.
Solusinya? Pertama, hadirkan sistem penempatan berbasis preferensi geospasial. Biarkan peserta memilih tiga lokasi impian dengan konsekuensi dan reward yang adil. Ini sudah lazim di banyak negara maju.
Birokrasi modern tak cukup hanya rekrut pintar, tapi juga harus tahu cara merawat dan menempatkan dengan bijak.Â
Kedua, ciptakan sistem onboarding ASN yang empatik dan profesional. Orientasi awal harus bukan hanya mengenalkan regulasi, tapi juga membangun koneksi emosional dengan institusi.
Ketiga, reformasi sistem rekrutmen nasional, yang jangan hanya mengukur kecerdasan dan ketelitian, tapi juga motivasi intrinsik, nilai hidup, dan cultural fit terhadap instansi.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh atas tata kelola pengadaan ASN dengan prinsip policy learning, bukan hanya policy fixing. Belajar dari kegagalan, bukan menyalahkan yang mundur. Mereka yang mundur bukan pengkhianat, tapi cermin retaknya sistem.
Bila kita mau jujur, mereka justru memberi alarm bahwa negara harus berubah. Jika benar ingin membangun birokrasi kelas dunia, dimulai dari menghargai manusia sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI