Dampak langsung dari pengunduran diri massal ini adalah formasi kosong yang tidak bisa diisi kembali tanpa regulasi darurat. Artinya, pelayanan publik terancam stagnan karena kekurangan tenaga kerja kompeten.
Tak hanya itu, citra negara sebagai pengelola talenta juga tercoreng. Bila birokrasi gagal merawat talenta terbaiknya, bagaimana bisa negara dipercaya memimpin transformasi digital, kesehatan, dan pendidikan?
Masalah mendasarnya terletak pada ketidakhadiran sistem talent management berbasis data. Pemerintah tahu siapa yang lulus, tapi tidak tahu siapa mereka sesungguhnya, baik latar belakang, motivasi, harapan, dan keterbatasan pribadi.
Pemerintah harus segera melakukan reorientasi kebijakan ASN, dari pendekatan administratif menjadi pendekatan berbasis human capital development. Ini bukan hanya tentang menempatkan orang, tapi membangun karier dan loyalitas jangka panjang.
Solusinya? Pertama, hadirkan sistem penempatan berbasis preferensi geospasial. Biarkan peserta memilih tiga lokasi impian dengan konsekuensi dan reward yang adil. Ini sudah lazim di banyak negara maju.
Birokrasi modern tak cukup hanya rekrut pintar, tapi juga harus tahu cara merawat dan menempatkan dengan bijak.Â
Kedua, ciptakan sistem onboarding ASN yang empatik dan profesional. Orientasi awal harus bukan hanya mengenalkan regulasi, tapi juga membangun koneksi emosional dengan institusi.
Ketiga, reformasi sistem rekrutmen nasional, yang jangan hanya mengukur kecerdasan dan ketelitian, tapi juga motivasi intrinsik, nilai hidup, dan cultural fit terhadap instansi.
Dan yang tak kalah penting, pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh atas tata kelola pengadaan ASN dengan prinsip policy learning, bukan hanya policy fixing. Belajar dari kegagalan, bukan menyalahkan yang mundur. Mereka yang mundur bukan pengkhianat, tapi cermin retaknya sistem.
Bila kita mau jujur, mereka justru memberi alarm bahwa negara harus berubah. Jika benar ingin membangun birokrasi kelas dunia, dimulai dari menghargai manusia sebagai manusia.