Di tengah gegap gempita sepak bola Asia, ada satu nama yang kini mendesak ruang-ruang harapan publik Indonesia, yaitu Fadli Alberto Hengga. Pemuda berusia 16 tahun yang lahir pada 22 Juni 2008 ini menjadi motor penting di lini tengah dan lini serang Timnas U-17 Indonesia yang tengah mengejar mimpi menembus final Piala Asia U-17. Tapi kisah Alberto tak hanya soal bola di kaki. Alberto adalah simbol dari harapan, perlawanan, dan perjuangan dari dua watak bangsa yang mengalir dalam darahnya, yaitu Jawa dan Papua.
Alberto adalah anak dari pasangan ibu berdarah Bojonegoro Jawa Timur dan ayah asli Papua bernama John Clif Hengga. Ia tumbuh besar di rumah berdinding kayu dengan atap seng yang mulai berkarat, berdiri di atas lahan Perhutani. Di ruang sempit itulah mimpi-mimpi besar bertunas, dipupuk oleh keyakinan sang ibu bahwa sepak bola adalah jalan keluar dari siklus kemiskinan dan keterbatasan.
Dari rumah berdinding kayu dan atap seng karatan, Fadli Alberto membawa mimpi ke panggung Asia. Sepak bola bukan sekadar permainan, tapi jalan hidup, dari Papua untuk Indonesia.Â
Dunia mengenal Papua sebagai tanah yang melahirkan legenda sepak bola Indonesia, dari Boaz Solossa, Elie Eboy, hingga Osvaldo Haay. Namun sejak Persipura terdegradasi dari Liga 1, sorotan ke bakat-bakat muda Papua mulai meredup. Alberto seperti secercah cahaya baru, yang menerobos gelapnya perhatian nasional terhadap mutiara-mutiara dari Timur.
Watak Papua dikenal keras, jujur, berani, dan penuh semangat juang. Di sisi lain, darah Jawa dalam tubuh Alberto memberinya ketekunan, kerendahan hati, dan ketahanan emosional. Dua arus karakter yang bersatu dalam tubuh mungilnya menjelma menjadi perpaduan ajaib, yaitu sosok pemain enerjik yang tidak hanya cekatan menggiring bola, tapi juga menghibur dan memompa semangat tim lewat gerakan-gerakan jenaka dan gaya bermainnya yang penuh jiwa.
Dalam psikologi perjuangan, ada konsep bernama survival drive atau dorongan untuk bertahan dan menang dari situasi hidup yang penuh tantangan. Alberto adalah personifikasi dari itu. Lahir dari keluarga sederhana, namun memiliki kemauan baja yang menolak untuk kalah pada keadaan. Ia tidak hanya bermain untuk menang, tetapi bermain untuk hidup.
Sepak bola itu sekolah hidup, demikian sekiranya keyakinan dari sang ibu. Kalimat itu menjadi semacam mantra yang mengalun di benak Alberto setiap kali ia menginjakkan kaki di lapangan. Ia tahu, setiap gol, setiap assist, adalah surat lamaran untuk masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarganya dan komunitasnya di Papua. Dalam perlawananya atas Timnas Afghanistan sebagai pertandingan terakhir fase gugur group, Alberto mampu mencetak gol pada menit tambahan di babak kedua.
Dalam banyak latihan, Alberto sering jadi pencair suasana. Rekan-rekan setim menyebutnya sebagai 'generator energi'. Tapi di balik kelakar dan tawa, ada kedalaman trauma sosial yang terpendam, tentang tanah yang jauh dari pusat perhatian, tentang mimpi yang sering dipotong birokrasi dan ketidakadilan.
Di sinilah politik olahraga berbicara. Ketika negara belum sepenuhnya hadir dalam pembangunan Papua, sepak bola justru menjadi jembatan. Alberto, seperti halnya Boaz dahulu, membawa narasi besar bahwa anak Papua tidak kurang dari anak mana pun di negeri ini. Mereka hanya butuh panggung dan kesempatan.
Watak Jawa dalam diri Alberto membentuk gaya bermainnya yang tenang namun penuh perhitungan. Ia bisa mengatur ritme permainan dengan ketepatan khas gelandang Eropa. Ini membuat pelatih mempercayainya sebagai jantung lini tengah. Ia bukan hanya pengatur bola, tetapi pengatur emosi tim.
Saat Timnas U-17 menang dramatis melawan Jepang di perempat final, kamera sempat menangkap Alberto berlutut di lapangan, menangis sambil mencium tanah. Bagi banyak orang, itu sekadar luapan emosi. Tapi bagi Alberto, itu adalah bentuk ritual jiwa, ekspresi syukur yang lahir dari penderitaan panjang dan keyakinan akan perubahan nasib.
Psikologi perlawanan menjelaskan bahwa individu dari kelompok marjinal sering kali memiliki resilience atau daya tahan lebih tinggi karena terbiasa menghadapi tekanan. Alberto membuktikan ini. Ia tetap konsisten meski tekanan publik dan beban ekspektasi melambung tinggi sejak Timnas menembus semifinal.
Keceriaan Alberto di lapangan bukan tanpa alasan. Ia sadar bahwa sepak bola bisa menjadi bahasa universal untuk menyampaikan pesan bahwa anak dari rumah seng pun bisa tampil di pentas Asia. Bahkan, dunia. Ia ingin menjadi inspirasi bagi anak-anak dari kampungnya yang mungkin masih ragu bermimpi.
Kita sering lupa bahwa sepak bola, pada esensinya, bukan cuma soal menang atau kalah. Ia adalah medan penggodokan karakter, ujian mental, dan ladang politik harapan. Alberto sedang mengingatkan kita semua akan hal itu, dengan caranya yang sederhana, lugu, namun penuh makna. Alberto tanpa memiliki modal uang nekad mengikuti seleksi Akademi Bhayangkara FC di Surabaya pada 2022, yang kemudian menempatkannya sebagai pemain Bhayangkara dan meloloskannya sebagai kampiun Timnas U-16.Â
Dia tak lahir dari akademi mahal, tapi dari tekad seorang ibu dan tanah merah Papua. Fadli Alberto bukan hanya pemain, dia adalah simbol harapan dan bukti bahwa mimpi besar bisa lahir dari ruang sempit.Â
Dalam sejarah sepak bola nasional, nama-nama seperti Fakhri Husaini, Indra Sjafri, hingga Shin Tae-yong pernah menyuarakan pentingnya pembinaan usia dini. Tapi kisah seperti Alberto-lah yang membuktikan, bahwa sistem itu harus sampai menyentuh anak-anak di ujung negeri, bukan hanya di kota besar.
Jika Indonesia kelak bisa bicara banyak di level Asia bahkan dunia, itu bukan semata karena teknik tinggi atau strategi canggih. Tetapi karena kita punya anak-anak seperti Alberto, yang bermain dengan semangat rakyat, dengan napas panjang perjuangan dari rumah kayu yang tak pernah menyerah pada nasib. Dan kelak, ketika kita menyebut generasi emas sepak bola Indonesia, jangan lupa bahwa salah satu dari mereka pernah datang dari rumah berdinding kayu, beratap seng karat, dengan doa ibu dari Jawa Timur dan tekad baja ayah Papua. Namanya, Fadli Alberto Hengga.
Kini, tinggal satu langkah menuju final. Namun bagi Alberto, langkah sejatinya sudah dimulai jauh sebelum ia mengenakan jersey merah putih. Sejak ia pertama kali menendang bola di halaman tanah merah, bermimpi tinggi dari rumah sempit di balik pepohonan Perhutani. Sebab sepak bola, seperti hidup, adalah soal bagaimana terus bergerak, walau dunia terasa sempit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI