Abolisi merupakan kewenangan konstitusional Presiden untuk menghentikan proses hukum terhadap seseorang yang sedang menjalani penyidikan atau penuntutan, sebelum kasusnya sampai pada vonis pengadilan. Dengan menerapkan abolisi, proses hukum terhadap individu tersebut resmi dihentikan, walaupun status bersalah atau tidaknya orang tersebut tetap tidak dihapus. Dalam praktiknya, pemberian abolisi sebaiknya mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai upaya pengawasan agar hak prerogatif ini tidak disalahgunakan.
Belum lama ini, Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan. Keputusan ini diumumkan secara resmi pada awal Agustus 2025 dan secara efektif menghentikan proses hukum yang tengah berjalan terhadap Tom Lembong, yang sebelumnya tengah ramai menjadi perhatian publik. Tindakan Prabowo ini merupakan langkah konstitusional yang menunjukkan hak prerogatifnya dalam menghapus tuntutan hukum yang sedang berjalan.
Keputusan pemberian abolisi sering menuai perdebatan, khususnya tentang apakah keputusan itu murni untuk menegakkan hukum atau justru didorong oleh kepentingan politik tertentu. Dalam kasus Tom Lembong, sebagian pihak menilai abolisi yang diberikan Prabowo adalah bagian dari strategi politik untuk menjaga stabilitas dan membangun koalisi. Namun, ada juga yang melihat abolisi sebagai upaya yang tepat guna memastikan keadilan, sekaligus mencegah berlarut-larutnya proses hukum yang dapat memicu ketidakpastian dan ketegangan sosial. Persetujuan DPR berperan penting sebagai mekanisme check and balance untuk menjaga keputusan semacam ini tetap proporsional dan transparan.
Tanggapan netizen terhadap abolisi Prabowo atas Tom Lembong mencerminkan spektrum pandangan yang cukup luas. Di media sosial, sebagian netizen menyambut positif langkah tersebut, memandangnya sebagai tindakan tegas yang menunjukkan keberanian Presiden untuk mengakhiri proses hukum yang dianggap mengganggu stabilitas atau kemaslahatan nasional. Beberapa akun bahkan memuji Prabowo sebagai sosok heroik yang mengambil keputusan berani demi kepentingan bangsa.
Namun, di sisi lain, tak sedikit yang skeptis dan menganggap abolisi ini sebagai manuver politik yang bertujuan melindungi elit tertentu, terutama mengingat konteks kasus yang sebelumnya menjerat Tom Lembong. Ada kekhawatiran bahwa tindakan ini justru melemahkan prinsip penegakan hukum dan membuka ruang bagi praktik impunitas bagi tokoh penting di lingkar kekuasaan. Komentar-komentar kritis ini menggarisbawahi perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan hak prerogatif ini, agar tidak menimbulkan kekecewaan publik terhadap sistem hukum.
Dari kubu pendukung Tom Lembong dan kuasa hukumnya, abolisi ini disambut sebagai bentuk keadilan dan penyelesaian yang layak, apalagi sudah melalui persetujuan DPR yang menjadi lembaga pengawas. Hal ini menegaskan bahwa langkah presiden tak serta-merta bisa dianggap sepihak atau tanpa kontrol.
              Â
Secara pribadi, melihat dari perspektif yang netral, pemberian abolisi adalah hak konstitusional yang dimiliki Presiden sebagai alat hukum untuk menjamin kemaslahatan nasional dan menghindari proses hukum yang berlarut dan potensial menimbulkan ketegangan sosial. Namun, penggunaan abolisi harus dilandasi dengan pertimbangan yang matang dan transparan. Mekanisme pengawasan DPR hendaknya tidak hanya formalitas, melainkan benar-benar berfungsi untuk menjaga agar pemberian abolisi tidak menjadi alat politik semata.
Di tengah dinamika yang kompleks antara politik dan hukum, penting agar keputusan abolisi juga diiringi komunikasi yang jelas kepada publik agar memperkuat kepercayaan terhadap sistem hukum negara. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa keputusan seperti ini bukan sekadar permainan kekuasaan, melainkan upaya menjaga kesinambungan hukum dan stabilitas nasional.