Di tengah gempuran era digital, manuskrip-manuskrip kuno tetap berdiri sebagai saksi bisu peradaban manusia yang sarat makna. Sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, kita diajak menyelami dunia manuskrip---karya tulis tangan pra-cetak yang menjadi jendela pengetahuan masa lalu. Ditulis dengan kesabaran luar biasa di atas beragam media seperti daun lontar, kulit kayu, atau kertas kuno, setiap goresan tinta dalam manuskrip menyimpan cerita unik. Di Nusantara, warisan ini terutama ditulis dalam aksara Jawi dan Pegon, yang menjadi bukti nyata dialektika budaya lokal dengan tradisi keilmuan Islam. Tidak sekadar teks agama seperti Al-Qur'an dan kitab kuning, manuskrip Nusantara juga menghidangkan khazanah sastra, hukum, hingga pengobatan tradisional. Melalui kajian filologi, kita bukan hanya membaca ulang teks-teks ini, tetapi juga menghidupkan kembali percakapan lintas zaman dengan para ulama, pujangga, dan cendekiawan masa lalu. Inilah mengapa setiap lembar manuskrip yang berhasil kita selamatkan ibarat membuka peti harta karun peradaban yang tak ternilai harganya.
Tulisan ini akan mengkaji Manuskrip yang diduga  menjadi buku catatan oleh santri pada masa lalu, bisa dilihat dimana catatan-catatan itu berkaitan tentang beberapa niat sholat sunnah, potongan Nadzhom dan do'a. Berikut akan kami paparkan beberapa aspek pentig yang dan utama dalam manuskrip ini.
Naskah ini ditulis oleh Bindara Sikan Kampung Darma Sadana-dana Bin Haji Muhammad Ilyas Intaha. Dengan ukuran 20,5 x 15,5 cm, naskah ini memuat blok teks berukuran 15,5 x 12 cm yang ditulis secara rapi dari kiri ke kanan menggunakan aksara Arab dan Pegon dalam dua bahasa: Arab dan Jawa.
Pada lembar pertama manuskrip ini, kita menemukan colophon yang memuat identitas pemilik kitab - sebuah pintu masuk yang intim ke dunia penulisnya. Bagian ini kemudian beralih menjadi semacam buku harian spiritual, memuat beragam catatan praktis tentang ibadah sehari-hari. Dengan tinta yang mungkin telah memudar, tercatat niat-niat salat mulai dari tahiyatul masjid yang sederhana hingga tata cara salat Jumat yang lebih kompleks, lengkap dengan qobliyah dan ba'diyah-nya.
Yang menarik, di sela-sela catatan praktis tersebut, tiba-tiba muncul penggalan nadzham tentang sifat Allah yang puitis - sebuah lompatan konten yang mengesankan. Peralihan yang spontan ini, dari hal-hal praktis ke konsep teologis yang mendalam, menunjukkan dinamika pemikiran sang penulis. Susunannya yang tidak sistematis justru menjadi bukti keasliannya; ini bukan teks yang disusun rapi untuk diajarkan, melainkan coretan-coretan pribadi yang lahir dari proses belajar.
Kondisi fisik manuskrip yang kurang terawat seolah berbicara tentang sejarah penggunaannya. Setiap lekuk dan noda di kertasnya mungkin menyimpan cerita tentang bagaimana naskah ini sering dibuka, dibaca, dan mungkin dibawa ke mana-mana oleh sang santri. Dalam fragmen-fragmen inilah kita menemukan jejak kehidupan pesantren yang sesungguhnya - tidak hanya tentang teori-teori besar, tetapi juga pergulatan sehari-hari seorang pelajar agama dalam memahami dan mempraktikkan ilmunya.
Isi naskah ini sangat menarik karena berfungsi sebagai panduan praktis bagi umat Muslim, memuat kumpulan niat salat, doa-doa harian, serta catatan-catatan keagamaan lainnya. Sayangnya, dari total 20 halaman yang ada, 4 di antaranya kosong, dan kondisi fisik naskah ini tergolong kurang terawat---sebuah nasib yang dialami banyak manuskrip Nusantara lainnya.
Yang membuat naskah ini istimewa adalah keberadaannya sebagai bukti nyata tradisi keilmuan Islam yang hidup di masyarakat Jawa Timur, khususnya Sumenep, pada masa lalu. Meskipun tahun penulisannya tidak tercantum, gaya penulisan dan penggunaan aksara Pegon menunjukkan bahwa naskah ini merupakan bagian dari tradisi pesantren yang kaya. Niat Salat Lan Donga bukan sekadar teks agama, melainkan juga cerminan dialektika antara budaya Jawa dan Islam yang harmonis.
Keberadaan naskah seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya pelestarian manuskrip sebagai warisan intelektual yang tak ternilai. Jika dibiarkan rusak, kita bukan hanya kehilangan sebuah naskah, tetapi juga memutus mata rantai pengetahuan yang telah dijaga turun-temurun oleh para ulama Nusantara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI