Mohon tunggu...
Of Silence I Am
Of Silence I Am Mohon Tunggu... Penulis sunyi yang berpikir dalam keheningan. Memadukan filsafat, sastra, dan keresahan eksistensial dalam tulisan reflektif.

Saya adalah penulis reflektif yang sedang membangun sebuah pemikiran filsafat pribadi bernama Silentisme Dialektis—sebuah jalan sunyi yang mempertemukan struktur historis, kesadaran eksistensial, dan wahyu transenden dalam dialektika yang jernih. Saya menulis karena berpikir, dan berpikir karena merasa dunia terlalu bising untuk didiamkan tanpa makna. Topik yang saya tulis: Filsafat hidup & eksistensialisme Kritik sosial & struktur kekuasaan Spiritualitas reflektif Puisi & prosa sunyi Hobi saya: Menulis di tempat sepi Ngopi hitam sambil baca Camus atau Al-Ghazali Main game survival atau roleplay filosofis Mengamati absurditas di tengah keramaian

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Silentisme Dialektis - Bab 2 : Kesadaran Sebagai Luka

13 Juli 2025   15:04 Diperbarui: 13 Juli 2025   15:04 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siluet manusia di tepi jurang --- simbol kesadaran yang membuka luka eksistensial dalam sunyi. Ilustrasi digital oleh AI (OpenAI DALL*E) 

Bab 2 : Kesadaran Sebagai Luka

Banyak orang akan mengira bahwa sadar itu solusi -- padahal ia menyimpan sebuah paradoks : awal penderitaan eksistensial. Kesadaran adalah keadaan di mana kita menyadari bahwa kita ada, dunia ada, dan keduanya punya hubungan. Tapi sadar yang kumaksud di sini bukan sekadar sadar sebagai fungsi otak, melainkan sadar yang eksistensial -- Ketika kita sadar akan : posisi kita di dunia, ketimpangan sosial, kebohongan structural, keberadaan luka - absurditas - kehampaan, dan pertanyaan tentang "Apa makna semua ini?" Kesadaran bukan hanya kita tahu apa yang terjadi, tapi tahu apa artinya bagi eksistensi kita. Aku mengutip ucapan Kierkegaard : "Kesadaran adalah penyakit dalam ruh." Apa yang terjadi dikala kita sadar? Kita mulai melihat : sistem itu menekan, hidup itu absurd, dan kebenaran tidak sesederhana yang diajarkan. Biasanya saat kita sadar, rasa keterasingan muncul : baik dari masyarakat, dari diri sendiri, bahkan dari Tuhan. Mengapa kesadaran itu menyakitkan dan membuat seseorang terasing? Karena sebelum sadar, kita aman dalam ilusi : bahwa dunia adil, ternyata hanya konstruksi dominan. Bahwa agama menenangkan, ternyata banyak ajarannya disampaikan secara menakut-nakuti daripada membimbing. Bahwa hidup ini lurus, ternyata semuanya absurd, tanpa makna objektif. Maka begitu sadar, semua keyakinan runtuh. Yang tersisa hanyalah keraguan, kegelisahan, dan kesepian. Inilah luka. Luka karena kita melihat lebih dalam daripada kebanyakan orang. Sadar sama dengan kehilangan ilusi. Sadar berarti berdiri sendirian, menolak kenyamanan palsu. Sadar itu tahu bahwa luka bukan sekadar beban, tapi identitas eksistensial. Analoginya seperti mata yang terbuka di ruang gelap. Bayangkan, kita hidup lama di sebuah ruang gelap, dengan nyaman. Lalu suatu hari, ada yang menyalakan lilin. Awalnya kita merasa silau, pusing, tidak tahu harus melihat ke mana. Tapi sayangnya, kita tidak bisa menutup mata lagi. Dan kita sadar semua yang kita anggap rumah, ternyata sebuah kandang. Inilah sadar, dan tidak bisa kembali. Ini yang disebut 'trauma pencerahan'. Sadar itu irreversible, tak dapat dikembalikan, tak dapat diubah. Kita tidak bisa berpura-pura tidak tahu lagi. Contoh saja : kita sadar bahwa sistem pendidikan tidak membentuk manusia berpikir. Kita sadar banyak agama dipakai untuk kontrol, bukan pembebasan. Kita sadar kebanyakan orang bicara bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk mempertahankan identitas. Dan setelahnya? Kita terasing. Tidak cocok dalam kebisingan sosial, tapi juga belum menemukan tempat dalam sunyi. Kesadaran adalah ironi : ingin sembuh, justru makin terluka. Banyak orang Kembali ke sistem lama agar merasa 'baik-baik saja'. Yang mencoba bertahan tetap merasa kosong karena ia tahu bahwa sistem lama palsu. Yang bertahan sadar bahwa dirinya tak bisa nyaman lagi, tak bisa percaya buta pada sistem lama, tak bisa berpura-pura hidup dalam ilusi. Mengapa banyak orang justru Kembali ke sistem lama? Karena mereka lebih nyaman percaya daripada berpikir. Mereka lebih enak ikut mayoritas daripada mencari makna sendirian. Yang bertahan dalam kesadaran tetap merasa kosong... karena tahu semua itu ilusi. Agar tulisan ini makin berdiri di atas realitas, bukan sekadar refleksi abstrak, kusisipkan data & riset ringan. Pertama, dalam dunia psikologi, terdapa istilah Self-Absorption Paradox atau paradoks penyerapan diri (hubungan antara kesadaran & distress) terkait faktor yang kita bahas : kesadaran diri. Ia mempunyai efek positif : yaitu meningkatkan kesadaran, pemahaman diri, dan regulasi emosi. Tapi efek negatif (rumination) nya : meningkatkan kegelisahan, kecemasan, dan gangguan suasana hati. Di mana letak paradkosnya? Ia terletak pada kenyataan bahwa kapasitas yang sama untuk refleksi diri dapat mengarah pada hasil positif dan negatif. Saat manusia lebih sadar (self-awareness), ia bisa merasakan kerentanan mental -- luka batin yang muncul karena kesadaran itu sendiri. Menurut data Kesehatan mental di Indonesia, sekitar 11% penduduk usia > 15 tahun mengalami gangguan mental; 19 juta orang mengalami hal tersebut. Di Jawa Barat, 3,3% orang menderita depresi -- lebih dari dua kali lipat rata-rata nasional (1,4%). Sekitar 29% remaja di Indonesia (usia 10-17 tahun) melaporkan gejala depresi. Lebih dari 59% Gen Z (remaja - dewasa muda) melaporkan mengalami masalah Kesehatan mental. Bukan berarti semua data di atas membuktikan bahwa kesadaran eksistensial menyakitkan, karena itu post hoc fallacy -- sebuah cacat logika yang menganggap B terjadi karena A hanya karena B muncul setelah A. Data di atas hanya memperlihatkan betapa luka itu menyebar luas -- dan Sebagian, bisa jadi, lahir dari kegagalan sistem menjawab kesadaran yang tumbuh. Jadi, bukan hubungan kausalitas langsung, melainkan : hubungan dialektis antara struktur yang menekan dengan kesadaran yang tumbuh, tapi tak mendapat ruang. Di titik ini, 'sunyi' menjadi ruang penyembuhan. Kita sadar kalua luka ini bukan karena kita lemah, namun karena kita sadar. Kita berhenti menyalahkan orang lain, tapi juga tidak lagi mengagungkan sistem. Kita mulai memeluk luka itu sebagai bagian dari proses menjadi manusia. Quotes atau kutipan kali ini : "Sunyi jadi tempat bukan untuk kabur, tapi untuk merawat luka eksistensial itu tanpa kebisingan palsu."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun