Saya masih ingat waktu ikut wisuda teman dekat di kampus negeri di Jakarta. Musik mengalun, semua orang tepuk tangan, toga dilempar, bahkan saya sempat ikut teriak "Hore!" padahal bukan saya yang lulus.
Dua bulan kemudian, saya ketemu dia lagi di warung kopi. Bedanya, kali ini wajahnya kusut. Katanya, "Bro, udah 27 lamaran gue kirim, belum ada yang balas." Saya cuma bisa diem. Itu bukan cerita di berita, itu nyata, saya dengar langsung.
Dan ternyata cerita kayak gitu bukan satu-dua. Data resmi malah bilang pengangguran sarjana lebih tinggi dari lulusan SMA/SMK. Aneh kan? Kita bayar kuliah mahal, bertahun-tahun belajar, tapi malah lebih susah cari kerja.
Pemerintah Punya Program, Tapi Rasanya...
Kalau saya buka media, pemerintah sering ngumumin program. Ada Kartu Prakerja, ada MBKM, ada pelatihan vokasi.
Di atas kertas, kedengarannya manis.
Tapi kenyataannya gimana?
Saya kenal sepupu yang ikut Kartu Prakerja. Dia bilang: "Lumayan sih, buat tambahan uang. Tapi kerja? Ya tetep harus usaha sendiri."
Vokasi juga banyak yang ketinggalan zaman. Kursusnya masih muter di software lama, padahal industri udah lari ke AI.
MBKM? Teman saya yang ikut magang bilang lebih sering disuruh entri data daripada belajar yang sesungguhnya.
Negara Lain Kok Bisa?
Saya pernah baca pengalaman seorang mahasiswa di Jerman. Kuliah setengah minggu, setengahnya lagi kerja di perusahaan otomotif. Digaji pula. Jadi pas lulus, dia udah punya pengalaman nyata.
Di Singapura, ada kawan saya yang ambil kursus singkat digital marketing. Dibiayai pemerintah. Selesai kursus, langsung dipakai buat kerja part-time.
Di Korea Selatan, teman online saya cerita kampusnya punya inkubator start-up. Mahasiswa dikasih ruang dan modal kecil buat coba usaha. Ada yang gagal, ada juga yang malah sukses.
Beda banget sama kita yang sering stop di seremoni atau sekadar sertifikat.