Media sosial dulunya dijanjikan sebagai penghubung: mendekatkan yang jauh, mempererat keluarga, memperluas relasi. Namun, semakin ke sini, ia sering terasa seperti jurang yang perlahan menarik kita jatuh. Kita terhanyut, bahkan bisa terluka tanpa sadar.
Opini di The Wall Street Journal menyoroti sisi gelap dunia ini: algoritma yang membuat kita betah berlama-lama, konten yang memicu rasa minder, hingga tekanan sosial yang membuat cemas. Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang layak dipersalahkan?
Antara Manfaat dan Luka yang Tak Terlihat
Media sosial memang punya sisi terang. Ada yang berhasil menemukan pekerjaan, memperluas jejaring, hingga mendapatkan komunitas tempat ia merasa diterima. Namun, ada pula sisi bayangan.
Studi kesehatan mental menunjukkan, remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial berisiko dua kali lipat mengalami kecemasan atau depresi. Bahkan, risiko kesepian, gangguan tidur, dan rendahnya rasa percaya diri makin nyata.
Namun, menariknya, penelitian juga mengungkap bahwa penggunaan secukupnya (sekitar 1--3 jam sehari) tak selalu buruk. Jadi masalah utamanya bukan pada aplikasi itu sendiri, melainkan pada cara kita menggunakannya.
Algoritma: Sahabat atau Perangkap?
Kita jarang menyadari bahwa fitur sederhana seperti like, notifikasi, atau rekomendasi video bukanlah hal netral. Semua dirancang agar kita terus kembali, terus menggulir, dan sulit berhenti.
Sebuah laporan bahkan menyebut Instagram masih menggunakan fitur yang berpotensi berbahaya bagi remaja, seperti pesan yang hilang otomatis atau rekomendasi konten ekstrem. "Platform tahu apa yang mereka lakukan. Mereka membangun produk yang membuat orang ketagihan," ujar seorang pakar etika digital.
Suara dari Lapangan: Antara Lelah dan Tak Bisa Lepas
Fenomena ini nyata. Banyak orang sudah merasakannya.
"Saya muak dengan Instagram. Rasanya sudah bukan lagi tentang manusia, tapi hanya jualan, iklan, dan scam. Tapi jujur, saya juga susah benar-benar lepas," tulis seorang warganet di forum.
Kisah lebih pilu datang dari Australia. Emma Mason, seorang ibu, kehilangan putrinya yang baru 15 tahun setelah menjadi korban cyberbullying di media sosial. Ia kini vokal menyerukan agar ada aturan lebih ketat bagi platform.
Di Indonesia sendiri, keluhan kerap terdengar sederhana tapi menusuk:
"Setiap kali buka feed, hidup orang lain selalu tampak lebih bahagia. Padahal saya tahu itu ilusi. Tapi tetap saja bikin saya merasa kecil."
Apa Kata Ahli?
- Psikolog klinis menekankan pentingnya literasi digital sejak dini, agar anak-anak mampu mengenali dan mengelola pengalaman online.
- Pakar kesehatan masyarakat menyarankan adanya "pemutus arus" untuk membatasi konten viral yang berbahaya.
- Akademisi teknologi menyerukan transparansi algoritma dan audit independen bagi perusahaan media sosial.
- Beberapa pemerintah, seperti Prancis, bahkan mulai mengkaji regulasi ketat terhadap TikTok dan platform lain demi melindungi anak muda.
Saatnya Mengambil Kendali
Apakah kita harus menunggu aturan global? Tidak. Kita juga punya andil untuk melindungi diri. Beberapa langkah sederhana bisa dimulai dari sekarang:
- Atur batas waktu harian dengan pengingat atau aplikasi pelacak.
- Ambil jeda digital; sehari tanpa media sosial bisa memberi ruang bernapas.
- Kurasi konten dengan berhenti mengikuti akun yang membuat kita merasa buruk.
- Bangun rutinitas offline: olahraga, hobi, atau sekadar ngobrol langsung.
- Diskusi terbuka dengan anak-anak. Bukan soal melarang, tapi mendampingi.
Catatan Penulis: Kita Semua Punya Peran
Menyalahkan media sosial sepenuhnya mungkin terasa gampang. Tapi tanggung jawab tersebar: perusahaan teknologi, regulator, sekolah, orang tua, hingga kita sendiri sebagai pengguna.
Jika kita hanya diam, arus algoritma akan terus menyeret. Tapi bila kita sadar, mengatur langkah, dan menuntut perubahan, ada harapan media sosial kembali pada tujuan awalnya: mendekatkan manusia, bukan merenggut kesehatan jiwa kita.
Menurut kamu, apakah sudah saatnya Indonesia punya aturan ketat soal media sosial untuk anak-anak? Atau cukup dengan kesadaran pengguna saja?
Referensi:Â
Social Media and Mental Health: Benefits, Risks, and Opportunities for Research and Practice by John A Naslund, Ameya Bondre, John Torous, Kelly A Aschbrenner.
Social Media and Youth Mental Health by Surgeon General U.S, 19 Feb 2025
Excessive Social Media found to Harm teenagers' Mental Health - but Experts Say Moderation be Key : The Guardian, 25 Jun 2025
Emma Mason Social Media for kids ban cry inspires EU leader: The Australian, 25 sep 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI