Pernahkah kita bertanya, kenapa negara seperti Korea Selatan bisa melesat maju, sementara banyak negara lain yang sama-sama merdeka pada era 1940--1960 justru tertinggal?
Sebagian orang buru-buru menjawab karena sumber daya alam, budaya kerja keras, atau faktor geografis. Tapi sebuah buku berjudul Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson membantah semua alasan itu dengan sangat telak.
Â
Bukan Alam, Bukan Budaya, Tapi Institusi
Inti dari buku ini sederhana: negara maju atau gagal ditentukan oleh institusi, bukan hal lain.
Institusi yang inklusif yang memberi kesempatan pada rakyat untuk berinovasi, berpartisipasi, dan menikmati hasil Pembangunan akan membawa kemajuan. Sebaliknya, institusi yang ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir elit akan menyeret bangsa ke jurang kegagalan.
Acemoglu dan Robinson menulis dengan tegas: "Nations fail because extractive institutions do not create the incentives needed for people to save, invest, and innovate."
Kalimat ini seolah menampar kita. Bukankah problem terbesar Indonesia hari ini bukan kurangnya sumber daya, melainkan bagaimana kekayaan negeri ini dikuasai oleh kelompok kecil saja?
Kenapa Pejabat Harus Membaca Buku Ini?
Karena merekalah yang sehari-hari memegang kendali institusi negara. Mereka yang merumuskan kebijakan, mengelola birokrasi, dan memutuskan arah pembangunan.
Kalau pejabat tidak membaca, mereka akan mudah terjebak pada cara berpikir lama, kebijakan hanya untuk menyenangkan kelompoknya, bukan memperkuat institusi yang inklusif.
Buku ini bahkan mengingatkan: "Extractive political institutions concentrate power in the hands of a few, and then use this power to maintain extractive economic institutions."
Bukankah kita sering melihat ini terjadi di negeri sendiri?
Dari Halaman ke Kebijakan
Membaca buku memang tidak otomatis membuat seorang pejabat jadi bijak. Tapi tanpa membaca, sulit membayangkan lahirnya kebijakan besar yang berakar pada pengetahuan mendalam.
Why Nations Fail bisa menjadi pintu kesadaran. Bahwa maju atau tidaknya sebuah bangsa bukanlah takdir, melainkan pilihan. Dan pilihan itu ditentukan oleh keberanian membangun institusi yang inklusif.
Jadi, sebelum sibuk dengan agenda rapat atau seremoni, alangkah baiknya para pejabat kita meluangkan waktu membaca buku ini. Karena dari satu buku ini saja, mereka bisa mendapat peta jalan yang jelas: bangsa gagal bukan karena rakyatnya malas, tapi karena institusinya dibiarkan rapuh.
Kesimpulan singkat: Kalau pejabat Indonesia mau benar-benar belajar dari sejarah dunia, mau memahami akar kemajuan atau kegagalan bangsa, maka satu buku ini wajib masuk daftar bacaan: Why Nations Fail.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI