Awal yang Mengkhawatirkan
Di ruang rapat parlemen yang penuh diskusi panas, sebuah angka mencuat dan membuat banyak orang terdiam. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp52,9 triliun untuk tahun 2026. Namun, DPR hanya memberi lampu hijau sekitar Rp400 miliar. Perbedaan yang begitu mencolok ini membuat banyak program pendidikan kini berada di ujung tanduk.
Dampak Langsung ke Lapangan
Menteri Abdul Mu'ti, dengan nada tegas namun cemas, menyampaikan bahwa kekurangan dana tersebut bisa menghambat Program Indonesia Pintar, memperlambat revitalisasi sekolah, dan menunda kesejahteraan guru honorer. Padahal, para guru honorer inilah yang sering kali menjadi penopang utama pendidikan di pelosok negeri, terutama di wilayah 3T (tertinggal, terluar, dan terdepan).
Bukan Sekadar Hitung-hitungan
Dr. Siti Nurhayati dari Universitas Pendidikan Indonesia mengingatkan bahwa masalah ini tak bisa hanya dilihat dari besaran angka. "Pendidikan adalah investasi jangka panjang," ujarnya. "Kalau kita salah langkah sekarang, anak-anak yang menanggung akibatnya kelak." Pernyataan itu menegaskan bahwa soal dana bukan hanya soal besar kecilnya, melainkan juga soal arah kebijakan dan prioritas.
Belajar dari Negara Lain
Kondisi pelik ini ternyata bukan hanya milik Indonesia. Nigeria dan Kongo pun menghadapi krisis pembiayaan pendidikan. Bedanya, mereka mencoba jalur lain. Ada yang menggerakkan dana komunitas lokal, ada yang menggandeng sektor swasta, dan ada pula yang memanfaatkan dukungan lembaga donor internasional.
UNESCO dan World Bank bahkan menyoroti skema blended finance sebagai salah satu solusi. Model ini menggabungkan dana pemerintah, swasta, serta bantuan internasional. Program Debt2Ed dari Global Partnership for Education (GPE) juga layak dicatat: utang negara diubah menjadi dana pendidikan. Pantai Gading adalah salah satu yang sudah menikmatinya akses lebih luas, kualitas lebih baik, tanpa menambah beban anggaran nasional.
Teknologi sebagai Jalan Tengah