Mohon tunggu...
Muhammad Ihya Tirta Raushan
Muhammad Ihya Tirta Raushan Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN JOGJA/24107030063

Mahasiswa biasa suka makan nasi uduk penyetan dan pecinta wanita matcha

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kenapa Qris Indonesia Bikin Amerika "Panas Dingin"

1 Juni 2025   12:32 Diperbarui: 1 Juni 2025   12:32 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia maya gempar. Berita berseliweran. "Donald Trump Menentang QRIS Indonesia!" demikian tajuk-tajuk bombastis yang berseliweran di linimasa Anda. Seolah-olah mantan presiden AS yang kontroversial itu secara pribadi terbang ke Jakarta, menggebrak meja Bank Indonesia, dan berteriak, "Hentikan QRIS!"

Tunggu dulu. Mari tarik napas dalam-dalam. Apakah benar ini ulah Donald Trump yang gila-gilaan? Atau ada agenda tersembunyi yang lebih besar di balik "kecemburuan" Dolar AS terhadap kemandirian Rupiah?

Bukan Trump, Tapi Si 'Bintang Kejora' dari Washington yang Mulai Duluan!

Mari luruskan. Yang meradang bukanlah Donald Trump secara personal, melainkan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR). Ya, lembaga "resmi" pemerintah AS ini, yang ibaratnya adalah penegak hukum ekonomi global bagi Amerika, telah secara terang-terangan menyoroti keberadaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dalam laporan tahunan mereka.

Laporan "National Trade Estimate" itu, yang biasanya hanya dibaca oleh para ekonom berdasi dan negosiator ulung, tiba-tiba menjadi sorotan publik. Mengapa? Karena di dalamnya, QRIS dan GPN dituding sebagai "hambatan perdagangan" dan "pembatasan akses pasar" bagi raksasa-raksasa pembayaran global macam Visa dan Mastercard.

Bayangkan! Dua raksasa yang selama ini mendominasi arus uang digital dunia, kini seolah terpojok di hadapan "anak baru" bernama QRIS. Ini bukan sekadar isu ekonomi, ini adalah perang narasi kedaulatan digital.

Apa yang Bikin Washington Ketar-Ketir?

Jawabannya sederhana: Duit.

Selama ini, setiap kali Anda menggesek kartu kredit atau debit berlogo asing, sebagian kecil dari nilai transaksi itu 'terbang' keluar negeri sebagai biaya transaksi. Bayangkan miliaran transaksi setiap hari di seluruh Indonesia. Berapa triliun Rupiah yang "bocor" keluar setiap tahunnya? Ini adalah kue raksasa yang selama ini dinikmati oleh jaringan pembayaran asing.

Nah, ketika Bank Indonesia dengan gagah perkasa meluncurkan GPN dan kemudian QRIS, tujuannya jelas: mendigitalisasi transaksi domestik di dalam negeri. Membuat aliran uang Rupiah berputar di "rumah sendiri". Memangkas biaya. Mempersingkat jalur. Dan yang terpenting, mengurangi ketergantungan pada jaringan luar negeri.

Ini bukan lagi soal kenyamanan bayar pakai scan barcode. Ini adalah langkah strategis menuju kemandirian ekonomi digital. Sebuah langkah yang, secara langsung atau tidak langsung, mengikis dominasi jaringan pembayaran global yang mayoritas dikuasai AS.

Winpoin.com
Winpoin.com

Sebuah Provokasi Kedaulatan yang Tak Terhindarkan?

Apakah langkah Indonesia ini adalah "provokasi"? Bagi Washington, mungkin iya. Bagi kita, ini adalah hak kedaulatan. Sama seperti sebuah negara berhak menentukan benderanya, ia juga berhak menentukan bagaimana uang rakyatnya beredar di dalam negeri.

Pemerintah AS, melalui USTR, melihat GPN dan QRIS sebagai kebijakan yang berpotensi membatasi kemampuan perusahaan mereka untuk beroperasi dan bersaing secara bebas di pasar Indonesia. Mereka khawatir ini akan menciptakan "lingkungan yang tidak setara" atau bahkan "diskriminatif."

Tentu saja, mereka tidak akan terang-terangan mengatakan, "Kami tidak suka kalian mandiri!" Mereka akan membungkusnya dengan argumen-argumen manis tentang "pasar bebas," "persaingan yang adil," dan "kesetaraan akses."

Lalu, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Ini bukan perang. Ini adalah negosiasi. Indonesia, melalui Bank Indonesia, sudah tegas menyatakan bahwa QRIS adalah wujud kedaulatan ekonomi dan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya efisiensi sistem pembayaran nasional. Kita siap untuk terus berkolaborasi, tetapi dengan syarat: kesetaraan.

Mungkin ini saatnya bagi kita, sebagai bangsa, untuk lebih sadar. Bahwa di balik kemudahan transaksi digital, ada pertarungan kepentingan global yang sengit. Bahwa setiap scan QRIS yang kita lakukan, adalah wujud kecil dukungan kita terhadap kemandirian ekonomi bangsa.

Jadi, lain kali Anda mendengar "Donald Trump menentang QRIS," tersenyumlah. Ingatlah bahwa ini bukan tentang drama pribadi seorang mantan presiden. Ini tentang perjuangan Indonesia untuk berdiri tegak di panggung ekonomi digital global, di tengah gempuran kepentingan-kepentingan raksasa dunia.

Bukankah itu sebuah narasi yang jauh lebih menarik? Sebuah narasi yang layak menjadi Artikel Utama di Kompasiana, dan mungkin, pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kedaulatan di era digital ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun