Di yayasan, saya bertemu dengan orang yang beragam agama. kristen katolik dan protestan. Pimpinan tempat saya bekerja di yayasan seorang pendeta kristen katolik. Â Karena saat itu saya tinggal di kabupaten, dan yayasan ini pusatnya di provinsi, saya sering tidur dan bermalam berhari-hari di rumah pimpinan yayasan saya tersebut. Kantor yayasan dirumahnya. Jadi disana saya mengikuti meeting, breafing, dan lain-lainnya. Mereka sangat baik. Saat puasa saya disediakan makanan untuk berbuka puasa. Dirumahnya saya disediakan sejadah untuk sholat. Â Bergaul seperti layaknya manusia biasa. Teduh, harmonis dan kami saling menghormati.
Kami juga sering bertukar pikiran. Saya waktu itu suka menggali sudut pandang mereka tentang kemanusiaan. Di lembaga yayasan tempat saya bekerja bersama mereka, kebetulan menitik beratkan pendampingan terhadap mereka yang lemah. Dalam pendampingan, yayasan tidak memandang apapun latar belakang termasuk suku dan agamanya. Misalnya waktu pendampingan terhadap nelayan. Kami mengajarkan kepada mereka, mengolah dan mengemas hasil tangkapan ikan dan udang untuk menjadi terasi.Â
Membelikan mereka mesin pengolah menjadi produk yang layak di jual di supermarket.  Membentuk kelompok-kelompok usaha kecil dan memberdayakan dengan melatih manajemen usaha agar bisa terus berkembang. Senang sekali kelompok-kelompok nelayan itu kami dampingi.  Karena usaha kecilnya berkembang pesat. Penghasilannya semakin bertambah dan pekerjaaan mengolah hasil tangkapan mereka  sudah modern,  tidak konvensional lagi.
Bergaul dan bekerja dengan orang yang berbeda keyakinan dan berbeda pandangan, adalah suasana kehidupan yang melekat pada diri saya sehari-hari, meski saya dari kecil di didik dan didekatkan dengan agama yang kuat. Beragamnya agama dan aliran-aliran yang ada di masyarakat, tidak membuat saya memisahkan diri dengan mereka. Justru semakin membuka pikiran saya untuk menerima perbedaan, dan ada yang bisa saya ambill nilai-nilai baik dari mereka.
Bagi saya tolerasi beragama menjadi alat ukur bergaul sehari-hari. Saya memahami tolerasi yang  sewajarnya. Aku minum kopi, engkau minum teh. Dan kita sama-sama minum. Bukan, engkau juga harus minum kopi dan aku juga harus minum teh. Ini memaksakan kehendak atas orang lain, baik itu dalam beragama dan kehidupan sosial masyarakat.
Toleransi menjadi sesuatu yang bernilai manakala  di dekatkan dalam pola hidup dan perilaku sehari-hari. Mari jalani kehidupan ini bersama keluarga, teman, tetangga tanpa memandang siapa dia, apa agamanya, dan apapun latar belakang kehidupannya. Semoga kebahagiaan menyertai kita semua. Aamiin.