*Abstrak*
Artikel ini membahas peran agama dalam membentuk solidaritas sosial di tengah masyarakat multikultural. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dari mile Durkheim, Max Weber, serta teori konflik agama, tulisan ini mengkaji bagaimana agama dapat menjadi kekuatan integratif maupun sumber disintegrasi sosial. Durkheim menekankan fungsi kohesif agama dalam menciptakan kesadaran kolektif, Weber menunjukkan pengaruh etos keagamaan terhadap tindakan sosial dan struktur masyarakat, sementara teori konflik menyoroti peran agama dalam memperkuat dominasi dan ketimpangan sosial. Artikel ini menyimpulkan bahwa fungsi agama dalam masyarakat majemuk sangat bergantung pada konteks sosial, interpretasi, dan kebijakan interreligius yang diambil oleh negara maupun masyarakat.
 *Kata kunci* : agama, solidaritas sosial, multikulturalisme, Durkheim, Weber, teori konflik.
 *Pendahuluan*
Agama merupakan fenomena sosial yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya sebagai sistem kepercayaan spiritual, agama juga berfungsi sebagai pondasi nilai, norma, serta pengatur perilaku kolektif. Dalam masyarakat multikultural, di mana terdapat keragaman suku, budaya, dan agama, peran agama menjadi semakin kompleks dan penuh dinamika. Di satu sisi, agama dapat menjadi kekuatan pemersatu, menjembatani perbedaan, dan membentuk solidaritas sosial. Di sisi lain, agama juga memiliki potensi sebagai sumber konflik, terutama ketika terjadi klaim kebenaran eksklusif, politisasi identitas agama, atau praktik diskriminatif terhadap kelompok keagamaan tertentu.
Kajian terhadap peran agama dalam masyarakat majemuk menjadi penting karena ia menyentuh aspek fundamental dari kohesi sosial dan integrasi nasional. Dalam konteks Indonesia, sebagai negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi, peran agama tidak dapat dilepaskan dari upaya membangun kehidupan sosial yang harmonis.
 *a. Fungsi Kohesif Agama*
Durkheim berpendapat bahwa agama adalah representasi simbolik dari masyarakat itu sendiri. Melalui ritual, nilai, dan kepercayaan bersama, agama menciptakan dan memperkuat dasar solidaritas sosial, khususnya dalam masyarakat tradisional yang homogen.
 *b. Etos Agama dan Tindakan Sosial*
Weber melihat agama sebagai kekuatan yang memengaruhi tindakan sosial. Weber mengemukakan bahwa nilai-nilai keagamaan tertentu, seperti asketisme dan kerja keras dalam Kalvinisme, mendorong rasionalisasi ekonomi dan perkembangan kapitalisme.
Dalam masyarakat majemuk, etos keagamaan juga dapat membentuk struktur sosial yang saling menopang atau justru memisahkan.
 *3. Teori Konflik Agama*
Dari perspektif teori konflik, agama dipandang sebagai alat dominasi kelompok elit. Karl Marx menyebut agama sebagai "opium rakyat", yang meredam kesadaran kelas pekerja terhadap ketimpangan sosial. Teori ini menyoroti bagaimana agama digunakan untuk mempertahankan status quo dan menciptakan subordinasi atas nama kebenaran ilahi.
 *Pembahasan*
 *1. Agama sebagai Perekat Sosial*
Durkheim memandang agama sebagai mekanisme sosial yang merefleksikan nilai-nilai bersama dari sebuah masyarakat. Dalam ritual keagamaan, masyarakat memperbarui komitmen mereka terhadap norma sosial melalui simbolisme dan tindakan kolektif. Hal ini menciptakan apa yang disebut Durkheim sebagai perasaan bersama yang memperkuat identitas kolektif.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, peran ini tetap relevan. Misalnya, dalam momen-momen keagamaan nasional seperti Idul Fitri, Natal, Waisak, atau Nyepi, terdapat partisipasi lintas kelompok yang menciptakan rasa kebersamaan. Institusi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bekerja untuk memperkuat solidaritas dengan mengedepankan dialog dan mediasi antarumat. Ini menunjukkan bahwa agama dapat bertindak sebagai "bahasa moral bersama", mengikat masyarakat dalam nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kasih sayang, gotong royong, dan saling menghormati.
Namun demikian, Durkheim juga mengakui bahwa solidaritas dalam masyarakat modern yang lebih kompleks dan individualis tidak bisa hanya bergantung pada kesamaan kepercayaan, tetapi perlu ditopang oleh solidaritas organik yang berdasarkan pada saling ketergantungan sosial. Oleh karena itu, peran agama dalam masyarakat majemuk perlu disesuaikan dengan konteks diferensiasi sosial yang tinggi.
 *2. Nilai Keagamaan dan Struktur Sosial*
Max Weber menyoroti bagaimana agama tidak hanya menciptakan solidaritas, tetapi juga memengaruhi arah perkembangan masyarakat melalui pembentukan etos kerja dan orientasi tindakan sosial. Etika Protestan, menurut Weber, menginternalisasi nilai-nilai rasionalitas, kedisiplinan, dan kerja keras yang mendorong munculnya kapitalisme modern.
Dalam konteks multikultural, perbedaan etos keagamaan dapat menciptakan dinamika sosial yang beragam. Sebagai contoh, kelompok-kelompok keagamaan tertentu mungkin menekankan kegiatan sosial, sementara yang lain fokus pada pendidikan atau ekonomi. Hal ini bisa memperkaya kehidupan sosial, tetapi juga dapat menimbulkan kesenjangan sosial bila etos keagamaan dijadikan ukuran moralitas atau keunggulan kelompok.
Weber juga mengingatkan bahwa tindakan sosial keagamaan tidak bersifat netral, ia bisa diarahkan untuk tujuan integratif maupun eksklusif. Misalnya, ketika nilai-nilai keagamaan digunakan untuk menjustifikasi posisi elite atau membatasi hak kelompok lain, solidaritas justru terganggu. Oleh karena itu, pemahaman Weber menegaskan perlunya pembacaan kritis terhadap bagaimana agama membentuk habitus sosial dalam masyarakat plural.
 *3. Potensi Konflik dalam Keberagaman*
Bertolak belakang dengan pendekatan fungsional, teori konflik melihat agama sebagai alat ideologis yang dapat digunakan untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaan. Dalam masyarakat multikultural, narasi keagamaan sering digunakan untuk melegitimasi pengucilan sosial. Contohnya dapat dilihat pada kasus diskriminasi terhadap kelompok Ahmadiyah, Syiah, atau penghayat kepercayaan di Indonesia, di mana negara kerap lambat merespons pelanggaran hak-hak minoritas. Bahkan dalam banyak kasus, konflik agama dipicu bukan karena perbedaan ajaran, melainkan oleh mobilisasi politik identitas yang memanfaatkan simbol-simbol keagamaan.
Teori konflik juga menjelaskan bagaimana lembaga keagamaan dapat berperan dalam mempertahankan struktur sosial yang hierarkis. Ketika otoritas keagamaan terlalu dekat dengan kekuasaan politik, mereka berpotensi membenarkan status quo dan menolak perubahan sosial atas nama tradisi atau "kesucian" ajaran.