Mohon tunggu...
muhammad fauzi
muhammad fauzi Mohon Tunggu... freelance

hobi main hp sambil menghasilkan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memiliki Rumah Hanya Jadi Impian Semata

28 Juni 2025   01:34 Diperbarui: 28 Juni 2025   01:34 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Impian Memiliki Rumah (Foto: AI ChatGPT)

Di tengah gemuruh kota yang tak pernah tidur, keinginan untuk memiliki rumah bagi banyak orang terutama mereka yang dianggap sebagai generasi milenial semakin sulit untuk diwujudkan. Bahkan sering kali terbayangi oleh kenyataan yang sangat pahit seperti harga properti yang terus meroket, persyaratan cicilan yang ketat, dan biaya hidup yang makin tinggi.

Bagi sebagian besar masyarakat, rumah bukan hanya sekedar tempat tinggal, melainkan simbol kestabilan, keamanan, dan harapan masa depan. Namun, dalam era serba mahal ini, impian tersebut kerap terasa sebagai ilusi yang menjauh.

Masyarakat kini dihadapkan pada fenomena ekonomi yang kompleks. Dengan meningkatnya urbanisasi, banyak orang berbondong-bondong pindah ke kota-kota besar dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Akan tetapi, peningkatan jumlah penduduk tidak sebanding dengan penyediaan hunian yang layak. Banyak unit rumah yang dibangun, namun harganya sangat tidak terjangkau bagi pekerja dengan gaji menengah ke bawah. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam siklus sewa yang terus-menerus, tanpa ada harapan untuk memiliki hunian sendiri.

Sebelum melangkah lebih jauh, marilah kita lihat jenis-jenis kepemilikan rumah yang diidamkan generasi milenial. Ada yang bermimpi untuk memiliki rumah sederhana sekedar cukup untuk dihuni keluarga kecil, ada pula yang mengidamkan rumah megah dengan halaman luas untuk anak-anak bermain. Namun, ada satu kesamaan yang mengikat semua jenis impian ini: kebutuhan akan tempat berlindung yang aman dan nyaman. Sayangnya, harga rumah yang selangit membuat hampir setiap individu merasa impian tersebut semakin menjauh.

Bagi mereka yang berniat membeli rumah, prosesnya sering kali dibumbui dengan berbagai tantangan. Mulai dari mempersiapkan uang muka yang tidak sedikit hingga menghadapi birokrasi yang kadang membingungkan. Ditambah lagi, bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang dapat membuat cicilan tak berujung, sering kali menjadi momok tersendiri. Dalam keadaan seperti ini, prestise dari memiliki rumah seakan lenyap tertutup oleh beban utang yang harus ditanggung bertahun-tahun.

Menghadapi kenyataan ini, banyak yang mulai berpikir ulang tentang arti 'memiliki'. Beberapa memilih untuk berinvestasi pada properti sewa untuk mendapatkan passive income, sementara yang lain lebih memilih untuk hidup dengan cara nomaden, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain per semesternya. Gaya hidup ini mungkin bisa memberikan kebebasan, tetapi pada saat yang sama, membuat perasaan memiliki rumah semakin jauh dari jangkauan.

Namun, ada harapan ditengah kesulitan. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul berbagai inisiatif pemerintah untuk menyediakan hunian yang terjangkau. Program-program subsidi rumah untuk warga berpenghasilan rendah dan proyek pembangunan rumah susun adalah contoh nyata upaya mendukung rakyat dalam mewujudkan mimpi mereka. Walau begitu, implementasinya masih jauh dari ideal dan banyak orang tetap merasa terasing dari program-program tersebut.

Di sisi lain, solusi alternatif seperti konsep komunitas hunian dengan sistem co-living mulai banyak menarik perhatian. Model hunian ini menyediakan fasilitas bersama, memungkinkan individu untuk berbagi ruang dan biaya, sehingga harga sewa menjadi lebih terjangkau. Konsep ini memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk merasakan kenyamanan tinggal di sebuah rumah, meskipun tidak sepenuhnya menjadi pemilik. Ini adalah langkah kecil menuju pemikiran baru tentang apa artinya 'memiliki rumah'.

Perspektif kita terhadap konsep kepemilikan rumah juga nampaknya perlu direvisi. Alih-alih melihatnya sebagai tujuan akhir, mungkin kita dapat menganggapnya sebagai perjalanan. Sebuah perjalanan yang mengajarkan kita nilai-nilai penting seperti kerjasama, toleransi, dan empati. Dalam berjuang menuju impian, sering kali kita menemukan diri kita terjebak dalam rutinitas harian, tetapi di sanalah, dalam perjalanan itu, kita sering kali menemukan makna sebenarnya.

Terlepas dari semua tantangan dan hambatan, penting bagi kita untuk terus bermimpi. Setiap impian, sekecil apapun, memiliki potensi untuk menjadi kenyataan jika kita terus berusaha. Mungkin memiliki rumah tidak selalu berarti memiliki tempat tinggal yang permanen, tetapi bisa jadi memiliki tempat yang memberi kita rasa nyaman---baik itu kontrakan, indekos, atau komunitas yang saling mendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun