Kontroversi mencuat di media sosial menyusul potongan video program "expose Uncensored" Trans7 yang tayang pada 13 Oktober 2025. Cuplikan tersebut, yang memperlihatkan adegan santri berjalan jongkok saat mengantri mendapatkan minuman dan ketika bersalaman (salim) kepada kyai, segera memicu perdebatan sengit di kalangan warganet Indonesia. Video yang diunggah ulang oleh akun Instagram @bushcoo pada 14 Oktober 2025 dengan judul "Ramai Seruan Boikot Trans7, Tayangan Program Dinilai Lecehkan Santri Dan Kyai" menjadi pemicunya.
Reaksi publik pun terbelah, antara pro dan kontra terhadap tradisi yang ditampilkan. Akun @w_a_n*** misalnya, pro terhadap tindakan hormat tersebut, berpendapat bahwa praktik seperti jongkok saat menghidangkan jamuan merupakan bagian dari tradisi menghargai yang kental, khususnya di daerah Jawa. Baginya, praktik ini adalah akar dari budaya gotong royong di masyarakat. Ia berkomentar, "Datang saja ke desa-desa (daerah) Jawa. Jika ada acara kumpulan masyarakat, (saat) kita menghidangkan makanan dan minuman, kita masih (harus) tradisi jongkok tidak boleh membelakangi (tamu) orang yang di kasih jamuan, makanya di (daerah) desa budaya gotong royongnya kuat, bermula dari prinsip saling sopan santun."
Sebaliknya, netizen yang kontra, seperti akun @nrlpd**, merasa keberatan. Ia membandingkan cuplikan tersebut dengan pengalaman di pondok pesantren buah hatinya dan menegaskan, "anak saya juga mondok, tidak ada budaya ngesot, jongkok berlebihan...". Perbedaan pandangan ini lantas memunculkan pertanyaan: mana yang benar dan bagaimana isu tersebut seharusnya disikapi?
Untuk menengahi isu ini, sebuah wawancara dilakukan pada Rabu (15/10/2025), dengan Irfan Sanusi, M. Si., seorang Dosen Filsafat dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Menurut Irfan Sanusi, budaya menghormati kyai/ustadz adalah hal yang wajib. Namun, berdasarkan pengalamannya, ia jarang sekali melihat praktik berjalan jongkok atau "ngesot" di pondok pesantren Jawa Barat. Jika praktik itu ada, menurutnya hal tersebut cenderung berlebihan, dan kuno. Meskipun begitu tetap penghormatan tinggi kepada kyai bersifat wajib, akan tetapi santri tidak perlu sampai melakukan proses “ngesotisasi", bersalaman (cium tangan) dirasa sudah cukup karena hal tersebut masih tergolong wajar. Ia khawatir budaya ngesot ini justru akan bertentangan dengan pandangan orang awam yang tidak pernah mondok, di mana mereka akan menganggapnya sebagai bentuk pengkultusan. Irfan Sanusi melanjutkan, dalam Islam, bahkan pada zaman Nabi Muhammad, para sahabat tidak diajarkan menyembah atau bahkan sampai membuat gambar dan patung Nabi, karena beliau sejatinya adalah manusia biasa. Demikian pula para penerus Nabi seperti sahabat, dan para ulama yang tentu memiliki kekurangan dan kelemahan.
Melihat pro kontra isu "ngesot" santri ini, Irfan berpendapat bahwa semua orang bebas berpendapat, tetapi harus didasari oleh argumen yang dapat dipertanggungjawabkan dan bersumber dari Al-Qur'an serta Hadis yang sahih. Kedua belah pihak juga harus saling terbuka, pihak kontra harus memahami jika praktik tersebut diamini oleh beberapa orang sebagai adat di pondok pesantren dan jalan meraih keberkahan, sementara pihak pro harus mengakui bahwa ada beberapa oknum yang mempraktikkan hal tersebut ke arah kegiatan negatif dan perlu perbaiki secara internal.
Menurutnya lagi, manusia selalu berubah, dan dalam konteks pendidikan, harus mengikuti perkembangan zaman. Apalagi, pendidikan kini dihadapkan pada kemajuan teknologi. Pondok pesantren harus mencari metode baru yang tidak lantas merendahkan guru atau kyai. Konsep berkah harus dipahami lebih mendalam, tidak setiap perintah dimaknai sebagai keberkahan, melainkan harus ada proses analitis dan kritis dalam dunia pendidikan. Hal ini penting agar santri, setelah lulus, diharapkan menjadi pemimpin yang mampu memberikan solusi tepat, bukan justru membangun sifat otoriter dan gila hormat. Irfan mengingatkan bahwa sesuatu yang berlebihan tidak baik, bahkan pada zaman Nabi ada sahabat yang ditegur karena berlebihan dalam beribadah.
Menanggapi pernyataan dalam konotasi islam yang semakin asing, umat Muslim perlu menentukan arah dan prioritas etika (adab/akhlak) mereka. Mereka dihadapkan pada dilemma mengenai prosesi penghormatan kepada orang yang berilmu, apakah harus berpegangan pada sumber yang bersifat umum, yakni Al-Qur'an dan Hadis Nabi, atau justru mengambil rincian penerapannya yang telah dijelaskan oleh generasi Sahabat dan para Ulama?
Irfan menjelaskan bahwa penerus Nabi memiliki derajat (secara keilmuan) lebih rendah, dikarenakan para sahabat dan ulama sumber rujukan ilmunya tentu kepada Nabi Muhammad (yang pengetahuan nya langsung dari Allah melalui Jibril), dan para sahabat dan ulama juga memiliki keterbatasan keilmuan, dan kelemahan lainnya. Oleh karena itu, isu ilmu adab ini harus dikembalikan pada ajaran Nabi.
Lebih lanjut, Irfan Sanusi mempertanyakan rujukan budaya "ngesot" kepada ulama atau pimpinan ini. Ia membandingkannya dengan gerakan salat yang jelas rujukannya. Ia berspekulasi apakah budaya "ngesot" ini berasal dari zaman Belanda saat masih berdirinya kerajaan di Indonesia. Baginya, praktik ini harus diubah karena dapat memberikan stigma secara menyeluruh kepada agama Islam sebagai agama yang feodal dan juga tertutup.
Disisi lain terkait dengan kasus kekerasan antara murid dan guru, Irfan menjawab bahwa hal ini adalah masalah kasus per kasus. Ia menekankan perlunya kesadaran dari seorang murid mengenai apa yang harus ia lakukan kepada gurunya. Di sisi lain, sebagai guru, perlu ada pendekatan yang tepat terhadap murid nakal, tanpa merasa paling suci atau paling tahu. Keduanya harus saling terbuka sehingga terjalin chemistry. Pendidikan tidak melulu soal kebutuhan guru, tapi juga kebutuhan murid. Ia mencontohkan negara lain seperti Singapura, dan Finlandia di mana guru terbuka terhadap proses analitis dan kritis murid.