Oleh: Muhammad Fari Alfarisqi & Fadli Marzuki Rangkuti
Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam. Salah satu kekayaan terbesar kita adalah nikel, logam strategis yang kini jadi rebutan dunia karena menjadi bahan utama baterai kendaraan listrik dan komponen baja tahan karat. Sayangnya, di balik gemerlap potensi itu, ada cerita lain yang jarang dibahas: ketergantungan ekonomi yang justru semakin dalam terhadap kekuatan asing. Cerita ini salah satunya terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah.
Morowali dan Ledakan Smelter Nikel
Sejak pemerintah Indonesia memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah dan mendorong hilirisasi industri melalui pembangunan smelter, Morowali berubah drastis. Kawasan ini menjadi rumah bagi Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), sebuah kawasan industri raksasa hasil kerja sama antara perusahaan nasional dan raksasa nikel asal Tiongkok, Tsingshan Holding Group.
Di atas kertas, semua tampak sempurna. Investasi besar masuk, lapangan kerja terbuka, nilai tambah ekonomi meningkat. Namun, ketika kita menengok lebih dalam, yang terjadi tidak sesederhana itu.
Ketergantungan dalam Balutan Investasi
Sebagian besar teknologi, modal, bahkan tenaga kerja terampil di Morowali masih berasal dari Tiongkok. Perusahaan asing mendominasi keputusan strategis, kendali atas teknologi, dan tentu saja, hasil keuntungan. Masyarakat lokal? Mereka umumnya hanya mendapat posisi sebagai buruh kasar dengan upah rendah, lingkungan hidup yang tercemar, dan ruang hidup yang makin sempit.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori ketergantungan (dependency theory), yang banyak dikembangkan oleh pemikir Amerika Latin seperti Theotonio Dos Santos dan Andre Gunder Frank. Intinya, negara berkembang seperti Indonesia cenderung menjadi (periphery) pinggiran dalam sistem ekonomi global, bergantung pada negara maju atau korporasi asing (core) untuk modal, teknologi, dan pasar.
Alih-alih mandiri, kita justru semakin terjerat. Bukannya jadi pemain utama dalam industri strategis, Indonesia malah kembali berada di posisi klasik: penyedia bahan baku, tenaga kerja murah, dan pasar bagi produk jadi.
Negara: Fasilitator atau Penjaga Kepentingan Korporasi?
Yang menarik untuk dibahas adalah posisi negara dalam situasi ini. Apakah negara hadir sebagai pelindung rakyat? Atau justru menjadi fasilitator utama kepentingan korporasi?