Mohon tunggu...
muhammad farel
muhammad farel Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa perikanan yang senang mengeluarkan pemikiran dan renungan renungan tentang perikanan dan sosial ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Seni

Ketika Garam Menjadi Seni: Menyelami Keindahan dalam Proses Pembuatan Garam Tradisional

11 Juni 2025   09:14 Diperbarui: 11 Juni 2025   09:14 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Garam tak hanya soal rasa, tapi juga kisah, cahaya, dan karya manusia."

Jika kita berpikir bahwa garam hanya sebatas butiran putih pemberi rasa pada masakan, maka kita sedang melewatkan satu keajaiban yang selama berabad-abad telah menjadi warisan budaya dan seni tersendiri di berbagai penjuru Nusantara.

Di sepanjang garis pantai Indonesia dari Madura, Bali, Nusa Tenggara Timur, hingga pesisir Sulawesi garam diproduksi dengan cara-cara tradisional yang bukan hanya menuntut ketekunan, tapi juga kepekaan terhadap alam, ritme matahari, angin, dan air laut. Proses ini bukan sekadar produksi, tapi manifestasi dari seni yang hidup, berpadu antara manusia dan alam.

Jejak Estetika dalam Proses Tradisional

Dalam pembuatan garam secara tradisional, setiap langkahnya memerlukan perasaan dan pengamatan tajam. Petani garam harus tahu waktu yang tepat mengambil air laut biasanya saat pasang tertinggi dengan kualitas air terbaik. Kemudian, air ini dikeringkan secara alami di ladang garam atau tambak, menggunakan tenaga matahari.

Warna putih berkilauan dari kristal garam yang terbentuk di atas tanah liat atau papan anyaman bambu tak jarang menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Dalam prosesnya, kita bisa melihat refleksi langit, awan, bahkan siluet tubuh petani garam yang membungkuk pelan semuanya tampak seperti lukisan hidup.

Bagi fotografer dan seniman visual, tambak garam adalah kanvas alam. Banyak karya fotografi hingga lukisan lahir dari pesona estetika tambak yang terpantul cahaya keemasan matahari senja.

Alat Tradisional sebagai Ekspresi Kultural

Alat-alat yang digunakan petani garam pun menyimpan nilai artistik tersendiri. Mulai dari penggaruk, ember kayu, hingga anyaman tikar penjemur garam, semuanya dibuat dengan tangan, dari bahan lokal yang mudah terurai. Tak hanya fungsional, bentuk dan desain alat-alat ini menjadi cerminan dari kearifan lokal dan gaya hidup berkelanjutan.

Beberapa komunitas bahkan memodifikasi ladang garamnya menjadi ruang wisata edukatif dan seni. Misalnya di Kusamba, Bali, dan Sumenep, Madura, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan garam sembari menikmati pemandangan simetris ladang-ladang garam yang sangat fotogenik.

Seni Bertahan di Tengah Modernisasi

Sayangnya, seni ini mulai tergerus oleh industrialisasi. Garam industri diproduksi massal dengan mesin, tanpa kisah dan sentuhan alam yang sama. Tapi di tengah tantangan itu, beberapa petani dan komunitas sadar bahwa nilai tambah dari keunikan visual dan kultural bisa menjadi daya jual tersendiri.

Beberapa merek garam lokal kini mulai mengemas produknya dengan narasi visual dan artistik mengangkat wajah petani garam, ladang-ladang eksotis, hingga ilustrasi etnik pada labelnya. Di sinilah seni kembali menyelamatkan garam dari sekadar komoditas menjadi cerita yang hidup.

Menjaga Garam, Menjaga Warisan

Melihat garam sebagai karya seni bukan berarti melebih-lebihkan, tapi memuliakan apa yang selama ini dianggap biasa. Karena di balik sejumput garam di atas meja makan, tersimpan peluh, cahaya, dan keindahan yang tak ternilai.

Menjaga seni pembuatan garam tradisional bukan hanya soal produksi, tapi tentang menjaga hubungan manusia dengan alam, menjaga warisan nenek moyang, dan tentu saja merayakan karya seni yang bisa kita rasakan, lihat, dan kecap setiap hari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun