Para pemegang kendali di setiap ruang dan latar selalu dihadapkan pada dilema. Mereka harus memilih arah yang tepat, apakah mengemudikan ruang itu sesuai kehendak mereka, atau bergerak bersama dengan orang-orang di dalamnya. Yah, meskipun saya tak menafikan bahwa ada banyak hal yang mereka pikirkan di dalam lingkaran berdiameter 55-57 cm tersebut, tentang ruang yang mereka pegang saat ini.
Ruang atau latar adalah lingkup kekuasaan seorang pemegang kendali. Mereka mengarahkan, membimbing, dan menentukan apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah dalam wilayah kekuasaannya. Ketika seseorang mendapatkan kendali atas suatu latar, hal pertama yang mereka pikirkan adalah bagaimana mengendalikan semua elemen di dalamnya, baik yang hidup maupun yang mati. Namun dalam tulisan ini, fokusnya adalah pada elemen hidup.
Pengendalian sebut saja kepatuhan, dan elemen hidup sebut saja manusia. Membuat manusia patuh adalah tantangan. Saat seseorang tunduk pada yang lain, itu menandakan keberhasilan pihak yang membuatnya patuh. Bagi saya, fakta bahwa manusia—dengan unsur yang hampir serupa—bersedia mematuhi manusia lain adalah sesuatu yang luar biasa. Namun bagi kebanyakan orang, kepatuhan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Padahal, faktor kepatuhan yang lahir dari kepala dan jiwa manusia merupakan dilema yang selalu menghantui para penguasa, yang membuat mereka terus mempertanyakan arti kepatuhan itu sendiri. Pada akhirnya, kepatuhan menentukan kesetiaan seorang yang dipimpin—apakah karena cinta atau karena ketakutan
Antara Cinta, Kepatuhan, dan Kehilangan Kewaspadaan
Cinta dan kepatuhan adalah sebuah alur. Tanpa disadari kepatuhan akan lahir bagi mereka yang merasakan cinta terhadap satu orang ataupun kelompok hingga kemudian melahirkan kepatuhan sebagai bentuk pembuktian rasa cinta itu sendiri. Kepatuhan tersebut lahir tidak secara langsung melainkan melalui beberapa proses yang setiap orang menentukan cepat atau lambatnya proses tersebut. Mereka yang tergila-gila sudah barang tentu memproklamirkan diri sebagai pelayan setia seorang penguasa. Namun mereka yang membutuhkan waktu, terlebih dahulu mencari atau menunggu sebuah pembuktian tersebut dari seorang penguasa terlebih dahulu entah dalam bentuk materiil, moriil, ataupun momentum peristiwa tertentu.
Kecintaan akan merawat kepatuhan sejauh kepemimpinan berlangsung. Namun, bagi saya, ini seperti pedang bermata dua—cinta bisa merawat kepatuhan, atau justru meluluhkannya hingga menimbulkan kelalaian. Mereka yang 'mencintai' pemimpinnya seakan-akan kehilangan sekat—patuh karena cinta, bukan karena visi yang diperjuangkan pemimpin mereka. Akibatnya, orientasi mereka hanya tertuju pada bagaimana menjaga hubungan dengan pemimpin, tanpa peduli pada apa yang sedang diperjuangkannya. Ketika sekat itu hilang, pemimpin justru berisiko dikendalikan oleh kaumnya sendiri. Sebagaimana orang yang mencinta, mereka selalu menuntut balasan, tanpa peduli pada tujuan pemimpin mereka. Akibatnya, visi kepemimpinan pun lenyap, digantikan oleh hubungan timbal balik semu yang terus-menerus mereka tuntut
Saya tidak menafikan bahwa ketika seseorang mencintai pemimpinnya, ia juga mencintai perjuangannya. Namun, pertanyaannya: sampai kapan kecintaan terhadap perjuangan itu bertahan?
Mungkin awalnya, cinta membuat seseorang bersedia tunduk, bahkan berkorban demi visi pemimpinnya. Tapi seiring waktu, cinta juga bisa berubah—terutama ketika ekspektasi mulai bertabrakan dengan kenyataan. Apa yang dulunya dianggap perjuangan mulia bisa perlahan terasa asing, bahkan tak lagi sejalan dengan keyakinan pengikutnya, apalagi jika visi yang diperjuangkannya itu sedari awal sebenarnya tidak sejalan dengan pemikiran pengikutnya.Â
Di titik inilah cinta diuji. Apakah ia tetap setia meski tak lagi sepaham? Ataukah justru berubah menjadi luka dan kekecewaan? Jika pengikut merasa dikhianati oleh pemimpin yang mereka cintai, bukan tidak mungkin kepatuhan itu berbalik menjadi perlawanan. Patah hati bisa berujung pada kudeta. Dan kepemimpinan pun akan terus berputar dalam siklus menggulingkan atau digulingkan.
Sehingga pada titik ini saya ingin mengatakan bahwa kecintaan terhadap seseorang - baik pada yang memimpin ataupun yang dipimpin - sisakanlah ruang untuk kecewa dan waspada. Ingatlah selalu bahwa baik dan buruk selalu beriringan. Cinta menimbulkan rasa sayang namun seiring dengannya berjalan pula rasa sakit yang bisa memberi manuver kapan saja. Tingkatkanlah kewaspadaan akan itu, agar kemudian cinta yang semula kamu hadirkan tidak benar-benar melukaimu - ini berlaku pada yang memimpin ataupun yang dipimpin.
Ketakutan yang Dipelihara: Kepatuhan dalam Bayang-Bayang Ancaman
Singkat saja, kamu takut pada pemimpinmu, dan sebenarnya pemimpinmu pun takut posisinya digantikan olehmu. Ruang yang semula senyap sendu berubah menjadi lingkungan yang padat dan mencekam. Orang-orang menjalankan tugasnya dengan teratur, seakan-akan mendukung visi pemimpin yang mereka junjung. Namun, jika satu-satunya landasan mereka berjalan dengan pemimpinnya adalah ketakutan, maka sesungguhnya mereka tidak bekerja demi visi—mereka hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri. Visi yang dihadirkan tak lebih dari formalitas—sesuatu yang harus ada hanya karena seharusnya ada, bukan karena benar-benar ingin dicapai.