Di tengah derasnya arus informasi digital, isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo menjadi salah satu contoh nyata bagaimana disinformasi bisa menjadi senjata politik dan ujian serius bagi kredibilitas pemerintah. Meskipun klaim tersebut telah dibantah dan tak berdasar, viralnya isu ini di berbagai platform media sosial menunjukkan lemahnya sistem mitigasi disinformasi, sekaligus menguji kesiapan strategi Electronic Public Relations (EPR) pemerintah.
Disinformasi sebagai Alat Politik
Narasi soal ijazah palsu Jokowi pertama kali mencuat di media sosial, kemudian diperkuat oleh beberapa akun anonim yang menyebarkan potongan-potongan informasi yang sengaja dipelintir. Meskipun tidak ada bukti sahih, persebaran masif di echo chamber seperti grup WhatsApp, forum Telegram, hingga Facebook membuat isu ini membesar secara organik.
Seperti yang diingatkan oleh pengamat hukum Pieter C. Zulkifli:
"Tuduhan tanpa bukti yang kuat hanya akan menjadi fitnah... narasi ijazah palsu ini tidak hidup dalam ruang hampa... muncul nada agitasi, provokasi... yang berpotensi menjerumuskan bangsa ke dalam kubangan instabilitas."
Ia juga menegaskan bahwa upaya delegitimasi terhadap presiden yang sah bisa merusak fondasi demokrasi:
"Jika publik terus disuguhi narasi yang meragukan keabsahan pemimpin yang sah, maka ... akan mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi itu sendiri."
Strategi EPR yang Diperlukan: Reaktif, Proaktif, dan Kolaboratif
Pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan konvensional dalam mengelola isu. Di era digital, kecepatan dan transparansi adalah kunci. Strategi EPR yang diterapkan harus mencakup tiga elemen utama:
1. Respons Cepat dan Transparansi
Publikasikan dokumen asli ijazah melalui kanal resmi Instagram @jokowi, situs Sekretariat Negara disertai sesi klarifikasi langsung, misalnya konferensi pers bersama UGM.