Dalam dunia kerja, politik, bahkan kehidupan sosial, fenomena "menjilat" bukanlah hal baru. Praktik ini telah ada sejak lama, mulai dari istana kerajaan hingga ruang rapat perusahaan modern.Â
Dari pegawai yang selalu memuji bos tanpa alasan jelas hingga politisi yang membenarkan semua kebijakan pemimpinnya demi kepentingan pribadi menjilat sering kali dianggap sebagai strategi untuk memperoleh kekuasaan, jabatan, atau perlakuan istimewa.
Namun, di balik itu semua, muncul pertanyaan penting: apakah menjilat merupakan bentuk loyalitas yang sah atau justru manipulasi terselubung? Apakah ini sekadar cara untuk bertahan dalam lingkungan yang kompetitif, atau malah menjadi racun yang merusak integritas dan profesionalisme?Â
Menjilat atau mencari muka sering kali dilakukan dengan tujuan mendapatkan keuntungan, baik dalam bentuk jabatan, fasilitas, maupun perlindungan dari atasan.Â
Dalam lingkungan yang kompetitif, seseorang mungkin merasa perlu menunjukkan loyalitas berlebihan, bahkan jika itu berarti memuji tanpa alasan, membenarkan kesalahan atasan, atau menjatuhkan rekan kerja demi posisi yang lebih baik.
Bagi sebagian orang, menjilat dianggap sebagai strategi yang efektif untuk mendekati kekuasaan. Mereka percaya bahwa dengan selalu menyenangkan atasan atau figur berpengaruh, peluang mereka untuk naik jabatan atau mendapatkan keuntungan lainnya akan lebih besar.Â
Sikap ini sering kali didorong oleh sistem yang lebih menghargai kedekatan personal daripada kompetensi dan prestasi nyata. Di sisi lain, ada juga yang menjilat karena merasa tidak punya pilihan.Â
Mereka mungkin takut kehilangan pekerjaan atau merasa tidak cukup kompeten untuk bersaing secara sehat. Dalam situasi seperti ini, menjilat menjadi semacam "jalan pintas" untuk mencapai stabilitas karier.Â
Sayangnya, perilaku semacam ini bisa menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, di mana keputusan lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan personal daripada profesionalisme dan kinerja.