Hari terus berganti, kini sahabatku tak lagi tampak, ia tak lagi datang menyapa, bertamu, dan bahkan suara -suara yang biasanya datang silih berganti mewarnai hari-hariku, kini tinggal cerita yang harus ku abadikan dalam ingatan, kelak saban waktu jika anak cucuku bertanya tentang sahabatku, aku masih bisa menceritan kisah kami di masa akan datang. Tentang pertemanan dan keakraban kami dalam kehidupan ini. Biar mereka paham dan mengerti bahwa alam dan seisinya penting untuk keberlangsungan hidup di Utara ini. Karena jika alam tak dijaga dan dilestarikan kelak, kita akan menuai hasilnya juga, banjir, longsor, serangan hama pertanian, hama rumah dan masih banyak lagi akibat lainnya kelak ketika kita tak mampu menjaga alam disekitar kita.
      Siapa tahu mereka bertanya, kalau mereka tak bertanya akan kusimpan dengan rapi pada lemari -lemari ingatanku. Sebab aku tak kuasa melupakan mereka yang sudah bertahun dan bahkan menjadi bagian dari hidup ini. Rasanya aneh dan bahkan tak sanggup untuk berkata kala aku melihat potongan-potongan mereka yang diangkut oleh kuda besi penjarah hutan kami. Kata mereka akan melakukan reboisasi kalau sudah memanen atau menebang hutan di wilayah kami. Mereka akan terus menanam pohon katanya. Aku merasa senang awalnya sebab mereka mau membangunkan sahabat baru bagiku. Tapi, aku langsung terdiam ketika mereka mengatakan akan menebang lagi ketika usia kayunya sudah bisa dipanen.
      Aku semakin muak dengan mereka, demi dollar dan kesenangan mereka, seenaknya menghancurkan rumah kami di utara ini. Hati ini hancur berkeping-keping. Lalu kupalingkan badan dan meninggalkan obbrolan mereka. Bagiku semua itu hanya janji manis saja dari mereka, kami dijanjikan dana atau di Utara warga menyebut uang P. aku juga belum tau ini dana apa, apakah ini suap atau untuk menjinakkan kemarahan warga. Kami semakin dibuai oleh janji manis mereka. Musim berlalu kami tak lagi menanam, semua lewat begitu saja. Padahal ketika musim tanam tiba kami biasanya melakukan ritual adat seblum bertani dan bahkan pesta rakyat di gelar. Rumah panjang kami ramai dan meriah. Gong di bunyikan, sampe dimainkan dan tari-tari kebesaran dimainkan. Tapi semua itu kini hanay cerita, warga kami semakin terbuai dengan dana yang diberikan oleh cukong-cukong kayu.
      Hari terus berlalu, bertahun lamanya barulah warga merasakan kehampaan, mereka menjadi budak ditanah kelahiran mereka sendiri. Mereka ikut bekerja dengan penguasan kuda besi. Hutan ditinggalkan, kebiasaan berburu ditinggalkan, yang ditepi sungai laut dilupakan. Mereka berbondong-bondong menuju areal perusahaan untuk menjadi kuli di tanah sendiri. Tahun demi tahun berlalu kehidupan mereka begitu saja, habis bulan kembali lagi bekerja dan terus seprti demikian. Pada hal kala hutan kami masih ada, kami yang mengatur kehidupan kami. Berburuh dihutan untuk kebutuhan keluarga. Istirahat kala lelah dan bertanam kala musim tiba, kelaut saat airnya jadi. Dan masih banyak lagi kegiatan lainya.
      Mereka mulai merasakan kehampaan. Apa mau dikata, nasi telah menjadi bubur, sampai hari ini kami hanya bisa pasrah pada penguasa besi. Kini tanah kami telah dirampas, demikian pulah sahabat karibku, telah mereka hancurkan. Kini aku hanya bisa pasrah pada sang pencipta untuk memberikan kami kesabaran dan kekuatan untuk terus berusaha menbangun kembali peradaban yang hilang di utara ini. Kalau untuk berharap pada mereka yang katanya berpangkat dan bergelar di barat rasanya sangat tipis akan di gubris mereka, sebab sebagian dari mereka masuk dalam daftar pemilik kuda besi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI