Mohon tunggu...
Muhammad Azni
Muhammad Azni Mohon Tunggu... Guru, pengiat Literasi, pemerhati lingkungan, politikus, penulis,

Saya seorang penulis lokal dan seorang guru di SMA alkhaioraat Tana Tidung. keseharian lebih banyak berinteraksi dengan alam dan siswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

cerpen anak Desa : Sahabatku ada di sekitarku

10 Mei 2025   12:21 Diperbarui: 10 Mei 2025   12:57 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Mongabay Hutan di babat

SAHABATKU ADA DISEKITARKU

            Pagi ini, aku terbangun dari tidurku, di antar kelopak mataku kulihat segerombolan kuda-kuda besi melintas memasuki pepohonan dan juga rerumputan yang masih basah di manja embun, suara jengkrik, burung bersiul, dan gemercik dedaunan turut menghiasi pagiku. Lalu ku usap mataku, membelalakkan pada segerombolan kuda-kuda besi itu, seakan memastikan bahwa aku sudah terbagun dari tidur atau aku masih bermimpi di negeri dongeng. Di sudut jalan setapak kulihat segerombolan warga lengkap dengan alat dan senjata dibadan, menyelempang busur, panah, sumpit, dan tombak, menginggatkan pada peristiwa kelam di saat akan pergi berburuh mencari mangsa di hutan untuk dibawa kembali kepalanya ke perkampungan.

Mereka ini semua adalah tetua kami di utara ini. Mereka juga sama herannya dengan ku yang baru saja terbangun dari mimpi indahku. Beralaskan tikar anyaman buatan warga setempat, dan bantal yang berisikan dedaunan kering membuatku terus menembus cakrawala dalam mimpi.

          *  " ma...ma...ma...., teriak ku di antara dinding pemisah dan dapur, 'ma..lihat siapa mereka, apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka ada di sini?" sejuta pertanyaan yang tak henti keluar dari mulutku, membuat mama tak sempat menjawab yang ku tanyakan. " waduh...anak ini, mengoceh saja seperti burung tiung yang berhenti jika tidak di sumbat dengan makanan", "hehehe...senyumku. " siapa mereka ma?'. ' oooo...itu..mereka itu orang perusahaan yang masuk ke kampung kita, emang kenapa?. " mereka mau ngapain di sini?". Kenapa mereka merusak hutan kita, bukankah kita selama ini menjaga hutan ini dari kerusakan, kenapa mereka seenaknya saja masuk dan merusaknya".*

            Lalu aku berlari keluar rumah berteriak sekencang --kencangnya. "jangan rusak sahabatku". Sampai suaraku serak dan tak keluar lagi, hanya air mata saja yang terus mengalir membasahi lantai rumah kami yang terbuat dari bambu dan daun nipa. Diatas rumahku, kulihat beragam burung berterbangan pindah dari dahan yang dirubuhkan oleh kuda-kuda besi itu, mereka juga berteriak dengan sekencang-kencangnya namun nasibnya sama denganku, mereka hanya bisa pasrah ke serakahan pemilik dollar.

            Hari itu, rumah kami di hiasi oleh berbagai jenis serangga yang melintas pindah dari hutan yang di babat oleh mereka, semua pindah dengan paksa dan tak sempat berpamitan diantara mereka, aku hanya berpikir bagaiman jika suatu saat kami yang diusir seperti burung-burung ini, pergi ketempat lain dengan paksa dan menyerah begitu saja. Belum lagi aku lepas dari pikiran itu, aku dikagetkan oleh warga yang berlarian mengejar berbagai jenis binatang yang biasanya mereka buruh, panah, tombak dan sumpit mulai mereka lepaskan untuk melumpuhkan binatang buruan tadi, kumelihat dimata mereka rasa marah dan sedih yang mendalam, namun mereka lampiaskan kepada hewan yang mereka jumpai untuk melepaskannya, sebab kami tak mampu melawan kebijakan pemerintah pusat yang mengeluarkan ijin pembukaan hutan di rumah kami.

            Aku hanya diam dan tak bisa berbuat apa-apa melihat sekelompok sahabtku yang selalu berlari diantara pohon meranti, mengeris, keruing, gaharu, akar bajaka, limpas, dan berbagai jenis pohon lainnya yang kini baring tak berdaya. Mereka semua pasrah di libas kuda besi. Seketika pula matahari memancarkan cahayanya ke rumahku, membuat aku terbangun kembali diantara teriakan warga yang riuh mengejar binatang yang berlarian keluar dari hutan. Cuaca hari agak berbeda dari biasanya, dimana pada masa sebelumnya matahari akan kelihatan ketika sudah menjelang siang hari, karena rumah kami masih tertutupi pepohonan yang hijau, memberikan rasa aman dan kesejukan kasih sayangnya memanjakan kami di bawah pelukan dahan yang rimbun di selimuti dedaunan akar kayu. Belum lagi oksigen yang di keluarkan oleh lumut hijau di dahan dan pohon mati yang menambah kelembaban kediaman kami. Mereka semua ini adalah sahabatku, yang senantiasa menemaniku dalam keadaan apapun. Memberikan kesejuka hati ketika kami gagal panen, memberikan semangat ketika kami gagal menemukan buruan, dan sebagai sahabat ketika kami lagi mersa sepi.

            Namun semua itu mulai berubah dengan seketika, hari ini semua itu hilang dengan sekejap mata, semua sudah terbaring layu di perut bumi. Semua menjadi sampah dan tumpukan batang kayu yang tak berbentuk lagi. Melintas dibenakku, inikah pemerintahan yang sesungguhnya, jika ini merupakan keinginan pemerintah, maka lebih baik kami hidup dengan hukum adat kami saja, biarkanlah mereka mengurusi bagian barat, selatan dan timur saja tak usalah menghiraukan kami di utara jika hanya untuk menhancurkan tempat kami bergantung hidup. Kami tak ingin kehidupan seperti ini, kami hanya ingin kehidupan yang damai, tentram dan sejuk. Kami tak ingin gedung bertingkat, kami tak ingin menara yang tinggi menjulang, dan kami juga tak ingin transportasi yang canggih kata mereka, seperti apa kulihat hari ini. Dimana kuda besi mereka yang dikatakn canggih itu melibas habis hutan dan sahabat kami.

            Tidak usalah kami dihiraukan jika semua itu untuk kerusakan rumah kami di Utara ini. Aku semakin pilu melihat pepohonan yang biasanya menjadi tempat bermainku dengan teman-teman sebayaku, kini menjadi tumpukan kayu yang tak enak dipandang mata, sebab aku dan alam disekitarku bagaikan sahabat dan saudaraku. Karena aku besar bersama dengan mereka, bercengkrama dan berbagi kisah kecil dan kesedihan. Tapi, kini aku harus menyaksikan semunya di rampas didepan mataku sendiri. Aku muak, aku marah, aku murka, namun semua hanya teriakan batin saja, sebab aku tak punya kuasa menghalangi kuda besi mereka yang menjama keasrian sahabatku.

            Aku hanya bisa mengelus dada saja saat ini, berdoa pada pencipta menyampaikan segala keresahan padaNya dan menyerahkan semua urusanku padaNya. Sebab, mengharap dari sesama ciptaannya tak berguna lagi saat ini. Aku semakin muak dan murka pada kelakuan pengusaha kala itu. Aku tak bisa menerimanya dengan ikhlas, terhadap apa yang mereka lakukan pada alam di sekitarku, yang sudah ku puja sepanjang masa. Sebab, sudah memberikan penghidupan dan perlindungan yang nyaman bagi kami sekeluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun