Mohon tunggu...
Muhammad Ayub Abdullah
Muhammad Ayub Abdullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IIQ An-Nur Yogyakarta - Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Menulis adalah keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Kebahagiaan Kita Dieksploitasi Oleh Kapitalisme

25 Januari 2022   12:20 Diperbarui: 25 Januari 2022   15:50 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://bigcendol.blogspot.com/

Dari seluruh umat manusia yang ada di dunia ini, adakah di antaranya yang tidak ingin hidup bahagia? Pastinya semua orang ingin hidupnya bahagia. Setiap manusia mulai dari yang masih balita maupun yang sudah tua renta, yang kaya maupun yang miskin, yang tinggal di desa maupun yang tinggal di kota, semuanya berhak untuk mendapatkan kebahagiaan.

Sebelum kita melanjutkan pembahasan ini, kita perlu tahu apa itu “bahagia”. Bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Sebenarnya sesederhana inilah pengertian bahagia. Yang menjadi pertanyaan, bahagia itu sederhana, namun mengapa kebanyakan manusia masih sulit untuk mendapatkan kebahagiaannya?

Standar Bahagia Menurut Agama Islam

            Bila berangkat dari pengertian di atas, bahwa bahagia adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan), maka sesungguhnya Islam sudah memberikan jalan kepada manusia bagaimana caranya untuk mendapatkan kebahagiaan.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28)

            Dari ayat di atas, Allah telah memberikan kunci atau standar mengenai kebahagiaan. Cukup dengan kita mau mengingat Allah, maka hati kita akan merasakan kebahagiaan. Inilah rumus dari Allah agar kita bisa mendapatkan kebahagiaan di dunia bahkan juga kebahagiaan di akhirat. Sesimpel itu bukan? Tapi mengapa dari kita sendiri yang malah memperumit definisi bahagia itu sendiri?

            Bila ada yang mengatakan kalau bahagia itu harus dengan terpenuhinya semua kebutuhan hidup, maka sebenarnya Allah juga sudah menjamin akan semua kebutuhan hidup manusia. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Hud ayat ke-6 yang berbunyi “Dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya”.

            Allah telah menjamin apapun yang menjadi kebutuhan manusia. Bukan hanya manusia malah, tapi Allah juga menjamin kebutuhan untuk seluruh makhluk ciptaannya, baik itu binatang, tumbuhan atau ciptaannya yang lain. Tak ada satupun yang tidak mendapat bagian rezeki, semuanya pasti akan mendapatkannya meski dari arah yang tak terduga-duga. Kita harus yakini seperti itu, karena memang itulah kenyataannya. Apapun yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup kita, Allah sudah menyediakannya dari alam, seperti oksigen yang kita hirup, makanan yang kita makan, minuman yang kita minum dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk merasa cukup dengan apa yang telah Allah berikan kepada kita.

Bagaimana Standar Bahagia Menurut Kapitalisme?

            Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi bebas tanpa batas  yang didasarkan kepada keuntungan. Apapun caranya, yang terpenting adalah mendapatkan pundi-pundi uang sebanyak-banyaknya, tidak peduli itu akan merugikan orang lain sekalipun. Nah di sinilah permasalahannya. Kapitalisme mencoba mengeksploitasi kebahagiaan kita. Agar apa? Tentu agar mereka mendapat untung sebanyak-banyaknya.

Bila Islam memiliki standar kebahagiaan yang telah dijelaskan di dalam kitab suci Al-Qur’an, kapitalisme tidak memiliki kitab suci apapun untuk memberi standar kebahagiaan kepada kita. Apakah bahagia itu yang bergelimang harta? Atau yang dikelilingi banyak wanita? Atau yang memiliki paras rupawan? Atau yang memiliki rank game tinggi? Atau yang memiliki tanda tangan artis idola? Atau yang memiliki subscriber Youtube yang banyak? Atau apa? Nah, di sinilah kapitalis membuat manusia menjadi berbeda-beda dalam memahami “standar bahagia”.

Kebutuhan Atau Keinginan?

            Dalam konsep kelangkaan, kapitalisme mencoba menyamakan antara pengertian kebutuhan (need) dengan keinginan (want) yang sebenarnya keduanya sangat berbeda. Kebutuhan manusia itu ada dua, yaitu kebutuhan pokok dan kebutuhan yang sifatnya hanya pelengkap saja. Kebutuhan pokok manusia seperti sandang, pangan dan papan itu sifatnya terbatas. Bila mana manusia sudah terpenuhi kebutuhan ini, maka ia sudah hidup tanpa permasalahan yang berarti. Namun, kebutuhan yang sifatnya pelengkap itu selalu berkembang seiring tingkat kesejahteraan individunya. Walaupun seseorang tidak terpenuhi dalam kebutuhan pelengkapnya, maka ia tetap hidup tanpa permasalahan yang berarti.

            Kebutuhan manusia itu sifatnya terbatas, yang tak terbatas itu adalah keinginannya. Sebagai contoh ketika manusia sudah selesai makan, maka kebutuhan pokoknya akan pangan sudah terpenuhi. Namun, manusia masih menginginkan makanan dalam porsi yang lebih dan variasi yang lain. Nah, bila melihat keinginan manusia sebenarnya tidak akan ada habisnya. Keinginan akan tetap ada selama manusia itu hidup. Inilah sebenarnya yang ingin dimanfaatkan oleh kapitalisme.

            Mengetahui bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas dan terus bertambah, maka kapitalisme berpikiran bagaimana caranya agar manusia itu dapat meningkatkan daya konsumtifnya, tidak peduli apakah itu memberikan manfaat atau tidak, yang penting mereka mendapat untung sebanyak-banyaknya. Mereka mempersilahkan manusia untuk mengonsumsi apa saja yang menjadi keinginannya. Karena pada dasarnya, kapitalisme tidak memiliki standar mengenai halal atau haram sebagaimana Islam. Dan inilah yang menjadi perbedaan yang besar antaran Islam dan kapitalisme.

Apakah Islam Melarang Untuk Memenuhi Keinginan?

            Pada dasarnya Islam tidak melarang kita untuk memenuhi keinginan kita selagi memiliki tujuan dan cara yang baik. Islam tidak melarang kita untuk hidup kaya raya, namun harus didapat dengan cara yang halal dan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat, untuk bersedekah dan membantu kemajuan masyarakat misalnya. Apa pun keinginannya, yang terpenting adalah diniatkan untuk tujuan ibadah kepada Allah dan untuk kemaslahatan umat manusia.

            Jadi, bahagia itu mudah, hanya dengan mengingat Allah kita sudah hidup bahagia. Hanya dengan merasa cukup akan apa yang telah Allah berikan kepada kita, kita sudah bisa hidup bahagia. Namun kapitalis nampaknya ingin memperumit standar kebahagiaan kita. Mereka mencoba membuat manusia agar tidak pernah merasa cukup akan apa yang telah didapatkannya. Manusia seakan digiring oleh mereka untuk memenuhi keinginannya yang tak terbatas, mau itu dengan cara dan tujuan yang baik atau tidak. Sekarang tinggal kita, bila kita ingin hidup bahagia, maka kendalikanlah keinginan kita.

Daftar Pustaka :

Fuadi, Ariza. “Negara Kesejahteraan (Welfare State) Dalam Pandangan Islam dan Kapitalisme”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. V, No. 1, Juni 2015

Sholahuddin, M. “Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Sosialis dan Kapitalis”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 2, No. 2, Desember 2001

           

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun