Mohon tunggu...
Muhammad Arsad Dalimunte
Muhammad Arsad Dalimunte Mohon Tunggu... -

Aku hanya seorang hamba lemah yang sedang belajar menterjemahkan kesempatan hidup di kebijakan berpandangan & di kesantunan tindakan....www.arsadcorner.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Imperium Kemanusiaan

1 Januari 2016   09:56 Diperbarui: 1 Januari 2016   10:41 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

RE-SOLUSI 2016 : IMPERIUM KEMANUSIAAN?

Tak terasa 2015 sampai di penghujung dan esok tanggalan 2016 mulai diberlakukan. Penjual terompet pun sudah berjejer di sepanjang pinggiran jalan. Terusik celetukan anak pertamaku seolah meng-claim muasal ide trompet itu terinspirasi dari salah satu tanda kiamat dimana sangkakala ditiupkan. Apalagi celetukan itu diakhiri dengan tanya bernada gugatan..emang dunia udah mau kiamat?. Aku hanya bisa tersenyum dan tak lama kemudian berpamitan  ke kantor untuk menjalankan aktivitas.

2015 akan berlalu dan  kontemplasi seputar hal apa saja yang telah ku lakukan disepanjang 2015 berujung tanya dengan “seberapa jauh makna diri?”. Terusik menilik capaian dan tampaknya berujung dengan kalimat “masih jauh dari mimpi sesungguhnya” sekalipun kesimpulan ini bukan bermakna kurangnya rasa syukur atas segala rahmat, hidayah dan kemurahan-Nya. Setidaknya, perasaan “masih jauh” meng-inspirasi energi untuk melanjutkan sampai ke-titik terakhir dimana hak untuk bernafas, berfikir dan melangkah dicukupkan Sang Khalik. “Masih jauh” juga menjadi stimulan untuk melakukan auto koreksi hingga tertemukan apa-apa yang harus diperbaiki demi hasil yang lebih baik. “Masih Jauh”....kemudian melahirkan satu tanya besar tentang keberpihakan Tuhan atas segala upaya yang sudah ditasbihkan dengan sekuat tenaga. Adakah hal ini berkaitan dengan kedekatan yang masih labil pada kalam2 Nya?. Entahlah..yang jelas pelibatan tanya tentang “keberpihakan Tuhan” sebagai wujud penghambaan yang serendah-rendahnya dan sekaligus bentuk ikrar keimanan bahwa sesungguhnya Dia-lah yang Maha Kuasa dan meyakini senantiasa menyajikan yang terbaik untuk hamba yang di cintai-Nya. Tetapi, satu pertanyaan lagi muncul kemudian “apakah diri ini sudah tergolong insan yang di cintai Tuhan?”. Lagi-lagi berujung jawab “entah...lah”. Setidaknya “entah..lah” merupakan wujud semangat untuk lebih keras lagi dalam berusaha mendekat pada-Nya. Akhirnya, kontemplasi di penghujung 2015 berujung dengan penegasan bahwa “niat baik, optimalisasi energi, pendayagunaan akal dan perbuatan yang sungguh-sungguh” hanyalah sebentuk upaya sebagai seorang hamba dan tentang “hasil akhir” sepenuhnya menjadi urusan-Nya. Di kepasrahan sedalam ini, asa tetap mengemuka dalam semangat serupa dan membangun pemaknaan kebelumsempurnaan capaian sebagai bukti nyata tentang dahsyatnya pengaruh Tuhan. Dalam fikiran positif yang terjaga, ku coba membanguk kesabaran dan menghibur diri dengan mengingat bahwa “Tuhan lebih tahu apa sesungguhnya yang dibutuhkan hamba-Nya”. Artinya, asa yang berjarak dengan realitas bukanlah pembenar untuk mengutuk dan atau berhenti berupaya, tetapi media untuk lebih mendekat pada-Nya.

2016 akan tiba dalam hitungan sekejap, setidaknya demikian berdasarkan pembatasan tahun yang entah siapa dan untuk apa didefenisikan. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan, pergantian tahun dijadikan media untuk me-refresh spirit diikuti serangkaian rencana yang kemudian di-cover dalam satu judul “resolusi”. Kalau begitu kebiasaannya, apa yang menjadi re-solusiku?. Lagi-lagi “entah..lah”.....Yang jelas, perjalanan dan perjuangan panjang hidup ini memberikan pertegasan bahwa hidup bagaikan rangkaian puzzle dimana titik matching bisa ditemukan oleh kebenaran atau kecanggihan akal dan tak jarang oleh satu keadaan yang tidak terduga sama sekali. Tetapi, bijak kah menempatkan akal di belakang dan kemudian sepenuhnya bersandar pada faktor kebetulan?. Kalau sudah sampai di titik ini, ilmu tauhid pasti menjadi pemandu terbaik dalam mengurainya.

Teringat beberapa hari lalu dalam sebuah diskusi informal seputar realitas sosial. Saat itu terlontar satu kalimat dari bibirku, yaitu “imperium kemanusiaan”. Tiba2 saja  kalimat itu seperti memiliki nilai magis tinggi yang membuatku jatuh cinta. Sesaat kemudian, tiba2 pula terbangun keyakinan kalau IK (Imperium Kemanusiaan) itu seolah menjadi tempat dan sekaligus obat manjur atas ragam realitas dan persoalan sosial yang menyesakkan dada dan akal sehat.    

Krentek pun meng-energi untuk kemudian mendeskripsikannya IK (Imperium Kemanusiaan) sebagai simbol hidup penuh ketentraman dan kedamaian dimana didalamnya selalu berlangsung interaksi kesetaraan tanpa kasta; orang2 memaknai kepemilikan kebendaan sebagai kesempatan untuk berbuat lebih banyak bagi sesama; orang2 pintar terpanggil men-share kecerdasannya untuk mencerahkan hidup sekelilingnya; orang2 yang dibenaknya selalu mengemuka tanya “masihkah ada yang lapar diluar sana” setiap kali duduk dan berhadapan dengan ragam menu berselera di meja makannya; orang2 lebih suka memilih saling menjaga dan melindungi ketimbang saling melukai dan atau saling meniadakan; orang2 beinteraksi atas dasar nurani dan membahasakan setiap kepentingan dalam kalimat santun menyejukkan dan mendatangkan kerelaan satu sama lain; setiap orang percaya diri untuk ber-cita-cita karena lingkungan selalu meng-apresiasi setiap kreasi, inovasi dan segala inisiasi sesederhana apapun itu; orang2 miskin tidak memandang keadaannya sebagai bentuk ketidak-adilan Tuhan atau memaki kenyataan, tetapi justru menjadikannya inspirasi membangun kebesaran jiwa dan men-stimulan spirit untuk belajar dan bekerja lebih giat lagi; ; orang2 lebih menyukai sesuatu yang didalamnya mengandung ke-kita-an ketimbang ber-selfie riya untuk sekedar menegaskan ke-aku-an nya; orang2 akan lebih dihargai bukan karena harta atau kedudukannya tetapi karena kepeduliannya yang  tak berbatas dan tidak mengenal waktu; dan lain sebagainya

Akhhh.. utopis...mungkin itu reaksi pertama para orang hebat yang sedang larut dan hanyut di kesuksesan atau kebesarannya. Bahkan bukan tidak mungkin mencibir dan memilih mempersalahkan kaum miskin nan bodoh mengapa tidak berusaha keras dan cerdas seperti yang dia lakukan hingga sampai di ketinggian. Namun, kurang bijak meng-kodifikasi orang2 ini egois karena paradigma persaingan seolah membenarkan “hanya yang  hebat yang berhasil dan berhak atas kesuksesan”. Nalar ini pula yang mungkin telah menggiring manusia untuk saling mengalahkan dan kemudian merasa berhak penuh atas segala capaiannya.

Sepertinya...IK hanya bisa difahami dan dihayati kalau dalam diri terbangun paradigma kepedulian. IK hanya mungkin dibicarakan pada orang yang merasa berdosa atau terpanggil kala menyaksikan atau mendengar penderitaan di sekitarnya. IK hanya bisa di dengungkan pada yang memaknai hidup sebagai kesempatan membangun rekam jejak kebaikan yang menginspirasi. IK hanya bisa diperdengarkan pada yang merasa “berbuat baik adalah kebutuhan”. Tetapi tak bijak untuk men-judgment siapapun sebagai pribadi yang tidak peduli, sebab bisa saja mereka abai karena tidak ada yang pernah mengingatkannya.

Adalah sebuah kebahagiaan tak ternilai kala melakukan sesuatu yang membuat orang merasa memiliki harapan dan kemudian menjadi optimis menatap hari esok. Juga merupakan sebentuk kebijaksanaan ketika si miskin tidak merasa sendirian lagi karena selalu ditemanin si kaya dan si bodoh pun merasa terbimbing oleh orang pintar untuk memerangi kebodohannya. Juga bukanlah hal buruk ketika sistem kerja tidak melahirkan tekanan kepada pekerjanya.  Adalah bagai mukjizat kala cita-cita atau gagasan menemukan jalan lewat  hadirnya kepedulian disaat sedang sangat membutuhkannya.  

Every body should be happy....walau kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya. Tetapi menarik ketika spirit IK mendorong setiap orang untuk saling membimbing, berbagi dan peduli dalam menalar bagaimana kebahagiaan itu bisa hadir kedalam hidup setiap orang.

Akankah “Imperium Kemanusiaan” menjadi inspirasi memasuki tahun 2016?. Dalam keinginan kuat untuk belajar menjadi diri lebih baik dan bermakna bagi sesama,  terfikir dan tergoda untuk mendefenisikannya sebagai re-solusi di 2016. akan KAH?.

 

31 Desember 2015

Kontemplasi dipenghujung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun