Setiap Agustus, negeri ini seperti kembali menghafal baris-baris syair lama: sang saka dikibarkan, spanduk dibentang dari gang ke gang, lomba digelar dari kampung hingga kelurahan. Upacara dilangsungkan dengan khidmat, lagu-lagu perjuangan diputar ulang, dan merah-putih seolah-olah kembali menjadi warna utama di tengah semesta yang letih oleh konten dan komentar.
Namun tahun ini, di sela rutinitas perayaan itu, sebuah bendera lain diam-diam ikut berkibar. Bergambar tengkorak bertopi jerami, simbol dari semesta fiksi Jepang (One Piece), bendera itu menggantung di jendela, melambai dari kendaraan, menyelusup masuk ke ruang-ruang digital. Sebagian menertawakannya. Sebagian lagi mencemaskan. Tapi sebagian kecil yang peka, justru membaca ini sebagai sebuah isyarat sosial yang tak bisa diremehkan.
Kita hidup di zaman ketika makna-makna besar mengalami penguapan. Nasionalisme menjadi jargon yang kerap dikumandangkan, tapi tak selalu dihayati. Maka ketika sekelompok anak muda mengibarkan bendera fiksi di bulan Agustus, mungkin itu bukan bentuk penafikan terhadap Indonesia, melainkan sebuah cara baru untuk bicara: tentang lelah, tentang kecewa, tentang cinta yang tak menemukan ruang untuk tumbuh secara jujur.
"Saya cinta Tanah Air di mana saya bisa hidup dengan layak," ujarnya. "Tetapi Tanah Air yang saya cintai itu bukanlah tanah air tempat saya membayar pajak, namun tidak mendapatkan hak yang sepadan atas pajak yang saya bayar." (Tempo, 1 Agustus 2025)
Pernyataan itu terdengar sederhana, tapi menyimpan ironi yang dalam. Di negeri ini, kita diajari bahwa mencintai negara berarti patuh, hormat, dan menjaga simbol-simbolnya. Namun bagaimana jika simbol-simbol itu justru menjauh dari pengalaman sehari-hari rakyatnya? Bagaimana jika cinta itu tumbuh di tengah ketimpangan dan ketidakpercayaan?
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu pernah mengingatkan bahwa simbol bukan hanya lambang; ia adalah medan kuasa. Di balik bendera, lagu kebangsaan, dan upacara kenegaraan, tersimpan proses peneguhan otoritas. Namun rakyat pun, dengan caranya sendiri, bisa menciptakan simbol tandingan sebagai bentuk artikulasi batin yang tak lagi terwakili oleh narasi resmi.
Seperti dilaporkan Radio Republik Indonesia pada 1 Agustus (2025), salah satu pemilik konveksi di Karanganyar menyebut bahwa pesanan bendera Topi Jerami datang dari berbagai wilayah dan mayoritas berasal dari kalangan muda. Meskipun para pembeli tidak menyatakan motif ideologis secara eksplisit, ia menangkap ada semacam getaran simbolik yang tak bisa dilepaskan dari sosok Luffy yang dikenal melawan ketidakadilan dan tirani.
Di sinilah muncul Jolly Roger versi rakyat: bukan untuk meruntuhkan Merah Putih, melainkan untuk mengingatkan bahwa ada luka yang belum sembuh, ada janji yang belum lunas, dan ada suara yang belum didengar. Seperti kata Stuart Hall, "Budaya populer adalah tempat di mana perjuangan makna terjadi. Ia adalah arena pertarungan antara dominasi dan resistensi." (Stuart Hall, 1981)
Bendera Topi Jerami bukan sekadar lambang bajak laut. Ia adalah simbol persahabatan, keberanian, dan mimpi tentang dunia yang lebih adil dalam semesta yang dipenuhi ketidakadilan. Bagi generasi yang tumbuh bersama anime, game, dan ketidakpastian, mungkin bendera itu adalah tempat mereka menambatkan harapan yang tak sempat disediakan oleh negara.
Fenomena ini bisa dibaca sebagai bentuk "politik kultural" bukan dalam arti partai atau parlemen, tetapi sebagai cara rakyat kecil merumuskan identitas dan posisi mereka dalam realitas sosial. Sebuah aksi simbolik yang sunyi, tapi mengandung kritik yang tajam terhadap kontradiksi sosial yang makin nyata, antara kebanggaan dan keterasingan, antara nasionalisme dan nihilisme, antara Merah Putih dan abu-abu kenyataan.
Agustus ini, Merah Putih tetap berkibar. Ia akan selalu menjadi lambang kita, warisan sejarah yang agung. Tapi tak perlu cemas jika di sebelahnya, bendera Topi Jerami ikut melambai. Ia bukan musuh. Ia hanya sebuah cermin kecil dari suara-suara yang selama ini tak diundang dalam narasi resmi kemerdekaan.