Belakangan ini, jagat software development diguncang lagi oleh data klasik: separuh proyek outsourcing perangkat lunak gagal mencapai manfaat yang dijanjikan. Penyebab utamanya? Bukan teknologi mutakhir, bukan pula algoritma eksotis, melainkan sesuatu yang terdengar remeh---requirements engineering (RE). Fakta itu ditelanjangi oleh riset Iqbal dkk. (2020). Saya merasa perlu bersuara, karena kegagalankegagalan itu diamdiam merugikan banyak pihak, terutama di Asia Tenggara yang haus talenta digital.
Mengapa Masalah RE Tak Kunjung Usai?
Mari kita jujur: menulis kebutuhan masih dianggap pekerjaan "isi formulir". Klien ingin cepat, vendor ingin mulai coding. Akibatnya dokumen kebutuhan lahir prematur, sarat asumsi, lalu dibiarkan membusuk. Penelitian tadi menunjukkan 43 masalah RE yang selalu muncul. Anehnya, daftar itu tidak jauh berbeda dari daftar keluhan dua puluh tahun lalu. Berarti ekosistem kita mandek---atau mungkin keras kepala.
Ada tiga lapis keengganan menurut pengamatan saya:
Budaya buruburu: Startup mengejar timetomarket, korporasi mengejar OKR. Apa pun yang menghambat kecepatan dianggap musuh.
Romantika teknis: Insinyur lebih bangga memecahkan persamaan diferensial daripada mendengarkan curhat pengguna.
Ketimpangan kuasa: Dalam outsourcing, klien memegang uang, vendor memegang keterampilan. Tarikmenarik inilah yang menelurkan miskomunikasi.
Paradoks Outsourcing
Outsourcing dijual dengan tiga janji suci: biaya lebih murah, akses talenta global, dan fokus pada kompetensi inti. Kenyataannya? Murah di atas kertas, mahal di ranah koordinasi. Talenta global hebat, tapi zona waktu berkhianat. Dan fokus inti klien buyar ketika proyek molor. Paradoks ini lahir karena kita memtreat pengembangan software layaknya manufaktur---padahal sifatnya knowledge work yang cair.
Manajemen Rekayasa Perangkat Lunak: Musuh atau Penyelamat?
Di sinilah Software Engineering Management (SEM) bermain. Banyak orang menyamakan SEM dengan gantt chart dan anggaran. Keliru. SEM adalah ilmu menukar ketidakpastian dengan visibilitas. Kalau RE adalah "mendengar sebelum menulis", maka SEM adalah "mengukur agar tak menebak". Duo ini seharusnya bersaudara.
Sayangnya, laporan Iqbal dkk. menyingkap lubang: komunikasi menempati ranking risiko tertinggi, sementara proses dan alat justru di posisi buncit. Artinya, kekuatan SEM belum merasuk sebagai disiplin komunikasi. Kita masih sibuk memburu alat DevOps canggih, lupa membetulkan garis telepon.
Tiga Gagasan Solutif
1. Menjadikan Dokumen sebagai Kontrak Psikologis