Mohon tunggu...
Money

Kajian Fiqh: Mengurangi Risiko Pembiayaan Bank Syariah Dengan Pengenaan Denda Terhadap Nasabah “Nakal”

18 Juni 2015   04:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:08 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Rendahnya tingkat return bank dibandingkan dengan tingkat return pasar juga berakibat pada munculnya risiko fidusia. Risiko fidusia terjadi ketika deposan atau investor menafsirkan rendahnya tingkat return tersebut sebagai pelanggaran kontrak investasi atau kesalahan manajemen dana oleh bank. Risiko fidusia dapat dipicu oleh pelanggaran kontrak pihak bank. Misalnya, bank dalam mengelola dana melanggar ketentuan yang telah ditetapkan secara syariah. Bank syariah dalam pengelolaan dananya menganggap telah sesuai dengan syariah dan ketidakmampuan untuk melaksanakannya dapat memicu masalah kepercayaan dan penarikan dana. (Khan & Ahmed, 2001)

  1. Displace Commercial Risk

Risiko ini merupakan transfer risiko yang berkaitan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas. Risiko ini bisa muncul ketika bank dalam keadaan tertekan untuk mendapatkan keuntungan. Bank syariah, disisi lain, justru memberikan sebagian profitnya kepada deposan untuk menghindari adanya penarikan dana akibat rendahnya return. Displace Commercial Risk mengimplikasikan bahwa meskipun bank telah beroperasi sesuai syariah, namun bank tidak memiliki tingkat return kompetitif untuk bersaing dengan bank lain. Deposan memiliki alasan untuk menarik danaya dari bank tersebut. Bank syariah, untuk menghindari hal tersebut, perlu mengalokasikan sebagian profitnya kepada deposan. (Khan & Ahmed, 2001)

Kajian Fiqh Pengenaan Denda Terhadap Nasabah

Menurut hukum Islam, ada perbedaan pandangan mengenai pengenaan denda terhadap nasabah nakal. Menurut maimun, Jumhur Ulama memberikan dasar pemahaman terhadap hadis mathl al-ghaniyy zhulm faidza atba’ ahadukum ‘ala mali’iy falyutba’, membolehkan kepada debitur nakal diberikan sanksi. Bahkan Ahl al-Zhahir (madzhab Zhahiri) berdasarkan tekstualitas nash mewajibkan kepada nasabah nakal untuk melunasi kewajiban hutangnya. Artinya, jika tidak dilunasi maka ia harus dikenakan sanksi. (Maimun, n.d.)

Menurut Abi Bakar Ahmad bin al-Razi al-Jashshash, seperti yang dikutip maimun, mengatakan bahwa debitur nakal boleh dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan (al-habs). Menurutnya, para ulama telah melakukan konsensus mengenakan hukuman kurungan terhadap debitur tersebut, dan tidak ada hukuman lain yang mesti dikenakan kepadanya, sepanjang menyangkut hukuman dunia. Ia juga lebih lanjut mengutip pandangan Abdullah Ibn al-Mubarak (w. 287-899 H.) yang mengatakan bahwa hukuman yang dikenakan untuk debitur nakal adalah kurungan. Kemudian ia lebih menegaskan lagi dengan mengacu pada hadis Nabi s.a.w. yang menyebut debitur nakal dengan kata/kalimat al-asir (debitur yang ditawan); Penyebutan ini menunjukkan bahwa debitur nakal yang mampu tidak ada lain hukumannya adalah kurungan. (Maimun, n.d.)

Menurut maimun, al-Jashshash yang mengutip pernyataan Ibn al-Mubarak membolehkan nasabah nakal dikenakan sanksi pidana berupa hukuman kurungan, dalam pendekatan hukum pidana Islam disebut dengan ‘uqubat al-ta’zir. Ta’zir merupakan hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang pembebanannya diserahkan kepada penguasa (uli al-amr) dengan tujuan untuk mencegah (al-man’u), memberikan pengajaran (al-ta’dib) dan efek jera (al-zajr) kepada pelaku agar menjadi orang baik (al-ishlah) dan tidak mengulangi kembali perbuatannya. Tetapi dalam konteks ini, fokusnya lebih kepada persoalan perdata, yakni antara pihak penggugat (kreditur) dan tergugat (debitur). Kemudian muncul persoalan, bolehkah sanksi pidana (ta’zir) yang dikenakan kepada debitur nakal itu digantikan dengan hukuman denda dengan membayar kerugian perdata kepada kreditur. (Maimun, n.d.)

Menurut Maimun, sebagian fuqaha dari kalangan madzhab Maliki memperbolehkan nasabah nakal mengganti sanksi pidana itu dengan denda kerugian perdata (bi al-ta’zir bi al-mal). Dasar pendapat ini adalah bahwa denda kerugian perdata yang dibayarkan nasabah itu dapat bermanfaat untuk kepentingan sosial, bukan untuk dibayarkan kepada bank (kreditur). Syekh Abdullah bin al-Mani’, seperti yang dikutip oleh maimun, berpandangan bahwa boleh dengan mensyaratkan kepada nasabah nakal itu melalui proses pengadilan (‘an thariq al-qadha’ aw al-tahkim). Sementara Shadiq Muhammad al-Amin melarang mensyaratkan yang demikian kepada debitur, tetapi ia mempunyai hak untuk kompromi mencari kesepakatan mengganti kerugian keuntungan kreditur sesuai dengan ketentuan perdata Islam. Dan sanksi terhadap debitur nakal itu harus dipermudah berdasarkan zhahirnya nash hadis Nabi yang shahih. Berbeda dengan al-Amin, Ibn Farhun mengatakan bahwa ta’zir itu ada karena meninggalkan kewajiban misalnya, ia meninggalkan kewajiban membayar hutang, padahal ia mampu. Karena itu, berdosa (dikenakan sanksi) hingga ia membayar hutang apa yang diwajibkan kepadanya. (Maimun, n.d.)

Kemudian, seperti yang dikutip oleh maimun, Musthafa Ahmad al-Zarqa’ memberikan pendapatnya bahwa boleh membebankan ganti rugi perdata kepada debitur nakal yang mampu dalam rangka mengatasi kerugian kreditur. Dasar pandangan yang melandasi ijtihadnya adalah pertimbangan kerugian kreditur akibat debitur nakal, dan debitur sendiri tidak berusaha untuk tidak merugikan kreditur. Sebagai argumen yang dibangun al-Zarqa’: Pertama, pertimbangan ekonomi dan bisnis modern, zaman kini ditandai dengan perkembangan beragamnya bentuk transaksi hutang yang didorong oleh kemajuan sarana komunikasi yang memungkinkan orang melakukan transaksi besar dari suatu negeri ke negeri lain berdasarkan janji-janji dan kesanggupan semata. Transaksi riil dan tunai tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat modern, baik bagi individu berpenghasilan rendah maupun bagi masyarakat berpenghasilan tinggi. Orang saat ini, untuk mendapatkan kebutuhannya yang banyak, menggunakan sistem kredit (credit card/bithaqat al-I’timan), dan para pebisnis membuat perhitungan usahanya atas dasar tagihan-tagihan dan kewajibannya. Dalam kondisi demikian ketepatan pembayaran menjadi unsur pokok baginya, dan tidak jarang dengan keterlambatan pembayaran dapat mengakibatkan kerugian. Karena itu, menurut Zarqa perlu dipikirkan penggantian atas kerugian yang dibebankan kepada kreditur. (Maimun, n.d.)

Kedua, pertimbangan moral keagamaan yang menjadi nilai-nilai dasar dan asas-asas umum syari’ah dalam ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi saw. yang menekankan keadilan, ihsan, amanah, jujur, larangan makan harta sesama secara batil, larangan menimbulkan kerugian, larangan berbuat zhalim, dan larangan menunda-nunda pembayaran hutang. Menurut Zarqa’, seperti yang dikutip maimun, yang disebutkan terakhir ini, yakni penundaan penunaian hak kepada pemiliknya secara sengaja dan tanpa ada alasan syara’ adalah suatu kezhaliman yang dilarang oleh nilai-nilai dasar dan asas-asas syari’ah. Tindakan tersebut jelas merugikan pemilik hak karena ia terhalang untuk menikmati manfaat harta kekayaannya selama penundaan tersebut. Membiarkan tindakan semacam ini berarti menyamakan orang yang jujur dan konsisten menunaikan kewajibannya dengan orang zhalim yang selalu merugikan orang lain. Hal ini pada akhirnya akan mendorong orang melakukan pengemplangan hutang, yang justru kontradiksi dengan maqashid al-syari’ah. Ketiga, pertimbangan yuridis formal syar’i, yang didasarkan kepada qiyas, yaitu meng-qiyaskan perbuatan pengemplangan kepada perbuatan gasab. Zarqa’ berpegang kepada doktrin madzhab Syafi’i dan Hanbali yang memandang manfaat suatu benda merupakan benda bernilai (mutaqawwimah), sehingga bila suatu barang itu digasab, maka pelaku gasab wajib mengganti kerugian atas manfaat barang yang hilang selama barang itu digasab. (Maimun, n.d.)

Zarqa’ kemudian mengungkapkan bahwa terdapat kesamaan antara debitur nakal dengan perbuatan gasab, yaitu sama-sama mengakibatkan kerugian bagi pemilik hak karena ia tidak dapat menikmati manfaat haknya selama gasab. Karena itu hukum gasab, wajib bagi pelaku gasab mengganti kerugian kepada pemilik barang yang digasabnya. Hal ini diberlakukan kepada nasabah nakal yang mampu terhadap hutangnya dengan alasan karena hal itu adalah suatu kezhaliman sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi saw. karena piutang tempatnya adalah di dalam tanggung jawab, dan penundaan pembayaran hutang secara zhalim merupakan pencegahan terhadap krediturnya untuk mendapatkannya dan merupakan pelanggaran terhadap haknya sehingga tindakan ini sama dengan melakukan gasab. Jadi singkat kata, penerapan hukum kasus gasab kepada kasus nasabah nakal membawa konsekuensi bahwa nasabah nakal harus dikenakan sanksi atau denda sebagaimana halnya pelaku gasab. (Maimun, n.d.)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun