Mohon tunggu...
MUHAMMAD ALAMULHUDA
MUHAMMAD ALAMULHUDA Mohon Tunggu... MAHASISWA

MAHASISWA UIN MAULANA MALIK IBROHIM MALANG FAKULTAS EKONOMI PRODI PERBANKAN SYARI'AH

Selanjutnya

Tutup

Tradisi

Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Menjelang Ramadhan di Empat Kota Provinsi Jawa Timur (Lamongan, Sidoarjo, Gresik, dan Malang)

1 April 2022   13:41 Diperbarui: 1 April 2022   13:55 2708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya saya ingin menjelaskan mengapa saya memilih tema ini karena saya sendiri lahir di Gresik, namun dalam pendidikan taman kanak-kanak sampai Madrasah Ibtidaiyah sampai tamat saya di Lamongan, kemudian menempuh Madrasah Tsanwiyah di Gresik rumah saya sendiri, selanjutnya menempuh Madrasah Aliyah di Sidoarjo dan saat ini kuliah S1 di UIN MALANG. Jadi saya merasakan asyiknya keragaman budaya di semua daerah, tempat saya tinggal. Sekarang saya ingin memberi tahu Anda bagaimana setiap daerah memperingati dan merayakan bulan puasa.

Umat Islam sering merayakan Ramadhan. Jawa Timur dan banyak daerah lain di pulau Jawa, salah satunya yang kita kenal dengan Megengan, memiliki tradisi khusus merayakan bulan suci Ramadhan. Megan memiliki tradisi yang unik, karena tidak ditemukan di daerah lain. Dikutip dari nursyam.uinsby.ac.id, diyakini bahwa tradisi Megan diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Sejauh ini, belum ada bukti sejarah yang membuktikan hal tersebut. Namun, hipotesis ini agak tidak berdasar. Pasalnya, penciptaan terkait tradisi akulturasi antara Islam dan Jawa sering kali bermula dari gagasan Sunan Kalija.

Keselamatan adalah tradisi Jawa jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Di Megengan, bagaimanapun, keselamatan juga melibatkan doa bersama. Be Megengan merupakan bentuk khusus akulturasi budaya Jawa dengan ajaran Islam.

FILOSOFI MEGENGAN

Dikutip dari nursyam.uinsby.ac.id, diyakini bahwa tradisi Megan diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Sejauh ini, belum ada bukti sejarah yang membuktikan hal tersebut. Namun, hipotesis ini agak tidak berdasar. Pasalnya, penciptaan terkait tradisi akulturasi antara Islam dan Jawa sering kali bermula dari gagasan Sunan Kalija.

LAMONGAN

Lamongan, tempat saya berusia enam tahun. Bagi masyarakat Lamongan, penerapan Ramadhan kali ini terasa berbeda. Setiap tahun, Desa Medang di Glagah Kabupaten Lamongan memiliki tradisi khusus puasa bersama.

Sebuah tradisi yang disebut Nanjak Ambeng disajikan di jalan desa, penduduk desa berkumpul di jalan. Sebaliknya, nasi diletakkan di atas nampan atau biasa disebut amben. Nanjak Ambengi tentu tidak layak di tengah pandemi COVID-19 saat ini. Nanjak Ambeng, dikutip dari berbagai sumber, adalah sebutan untuk berbuka puasa di atas nampan dengan makan bersama. Dalam bahasa Jawa, Nanjak berarti makan bersama, dan Ambeng berarti nasi di atas nampan.

Tradisi ini mengakar dalam kehidupan masyarakat Lamongan. Nanjak Ambengi biasanya diadakan di pinggir jalan atau di masjid-masjid. Pada dasarnya, masyarakat mengumpulkan dan membuat lingkaran kecil di sekitar nasi di nampan.

Pelaksanaan Nanjak Ambeng adalah akhir bulan puasa. Untuk Nanjak Ambeng sendiri dikenalkan dengan Ramadhan beberapa hari ini. Ratusan amben yang dipersembahkan untuk mengakhiri puasa merupakan sumbangan dari masyarakat Paciran. Tak heran jika menu dan lauk pauknya beragam. Ada nasi kuning, lalapan lodeh, lalapan, nasi kabut dan masih banyak lagi. Selain amben, masyarakat di Lamongan sering membuat takjili. Takjili biasanya disajikan sebagai hidangan pembuka saat musim puasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun