Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Tragedi Menuju Kilauan Budaya Pop Korea

25 Maret 2024   20:02 Diperbarui: 25 Maret 2024   20:04 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di balik kilauan budaya pop Korea atau Korean Wave (Hallyu) yang mengguncang dunia saat ini, tersimpan rentetan kisah kelam sejarah Korea Selatan yang dipenuhi oleh perang, penjajahan, dan krisis ekonomi. Namun, dari lembah kelabu itu, akar Hallyu justru menancap dan mengokohkan diri menjadi salah satu budaya populer terbesar dunia.

Hallyu yang populer dengan musik K-pop dan kontennya yang menghibur hari ini, bermula dari masa-masa suram perang dan pendudukan Jepang serta Amerika Serikat di Korea Selatan. Pada 15 Agustus 1945, Korea Selatan meraih kemerdekaannya setelah Perang Dunia II usai. Namun, bukannya membawa kebebasan, kekalahan Jepang malah membuat kehidupan warga Korea Selatan semakin mencekam karena ancaman Perang Korea dengan Korea Utara.

Tak hanya itu, kedatangan pasukan Amerika Serikat di Korea Selatan seakan hanya menggantikan posisi pasukan Jepang yang dipaksa hengkang. Pada masa inilah, cikal bakal budaya pop Korea mulai tumbuh dari kesulitan yang dihadapi masyarakat.

Menurut penelitian sejarah, sejak pendudukan Amerika Serikat di Korea Selatan pasca-Perang Dunia II, banyak grup musik lokal diundang untuk menghibur para prajurit. Untuk menyesuaikan selera musik Amerika, grup-grup tersebut membawakan lagu-lagu pop Barat. Ini menjadi awal masuknya pengaruh budaya Barat di Korea Selatan yang terus berkembang hingga saat ini.

"Secara kultural, kegemaran Korea Selatan terhadap budaya ala Barat memang diasumsikan akibat pengaruh datangnya militer Amerika usai Perang Dunia II," jelas Khang Boo-youn, seorang peneliti budaya pop dari Universitas Kyung Hee, Korea Selatan, dalam sebuah wawancara dengan media Korea Herald.

Pengaruh Amerika ini semakin kuat dengan munculnya siaran radio oleh American Occupational Forces sejak 1945. Melalui radio, lagu-lagu Barat diputar secara masif, mendorong band-band Korea Selatan untuk mengikuti selera musik tersebut. Ini membuat musik Barat menjadi hiburan mainstream di Korea Selatan saat itu.

Perkembangan Hallyu Era Modern

Meski awal mulanya berakar dari masa kelam, fondasi Hallyu modern justru terbentuk usai kudeta militer yang menumbangkan Presiden Park Chung-hee pada 1979. Presiden Park dikenal sebagai pemimpin diktator yang menyensor banyak konten media di Korea Selatan.

"Setelah kematian Presiden Park, industri kreatif di Korea Selatan mulai menggeliat dan berubah. Periode 1980 hingga awal 2000-an, Korea Selatan mulai mengekspor produk kebudayaannya secara intens dengan memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang mendukung industri kreatif seperti Samsung," ungkap Lee Jong-hwa, seorang budayawan Korea Selatan, dalam sebuah diskusi di Universitas Sungkyunkwan.

Meski demikian, momentum terpenting yang benar-benar menancapkan fondasi Hallyu modern adalah krisis moneter Asia 1998. Ada sebuah cerita populer bahwa Korea Selatan selamat dari krisis ini karena para pemutus kebijakan menyadari potensi industri kreatif melebihi industri otomotif, melihat kesuksesan film blockbuster Jurassic Park yang meraup keuntungan lebih besar dari penjualan satu juta mobil Korea Selatan saat itu.

Di bawah kepemimpinan Presiden Kim Dae-jung, investasi Korea Selatan ke industri kreatif melonjak dari hanya US$ 8,5 miliar pada 1998 menjadi US$ 43,5 miliar pada 2003. Kebijakan ini terbukti ampuh hingga kini Hallyu selalu menghasilkan belasan miliar dolar Amerika Serikat setiap tahunnya, dengan angka ekspor tetap stabil di sekitar US$ 12 miliar pada 2021 dan 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun