Mohon tunggu...
Muhammad davafirdaus
Muhammad davafirdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/mahasiswa

Menulis,dan berdakwah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Apakah Pendidikan Modern Bisa Mengubah Kultur Pendidikan Islam di Aceh

29 Januari 2024   06:56 Diperbarui: 29 Januari 2024   07:13 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertumbuhan dan perkembangan dayah di Aceh memiliki keterkaitan yang erat dengan sejarah masuknya Islam di Aceh. Pendidikan Islam pertama di Indonesia dimulai ketika orang-orang yang memeluk agama Islam ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang ajaran agama yang mereka anut, termasuk tata cara beribadah, membaca al-Qur'an, dan memahami Islam secara lebih luas. Pada awalnya, proses belajar mengajar dilakukan di rumah-rumah, surau, langgar, atau masjid. Di tempat-tempat tersebut, mereka belajar membaca al-Qur'an dan mempelajari ilmu-ilmu agama lainnya secara individu dan langsung.

Pada masa Rasulullah, masjid digunakan sebagai tempat belajar dan pendidikan, selain sebagai tempat ibadah. Banyak anak laki-laki dan perempuan Muslim yang dididik di masjid, dan mereka mempelajari berbagai pengetahuan. Hal ini mendorong terbentuknya banyak kelompok belajar (halaqah) di masjid-masjid. Kelompok-kelompok ini biasanya berada di sudut-sudut masjid atau zawiyah. Kata zawiyah ini digunakan oleh masyarakat Aceh untuk menyebut lembaga pendidikan Islam, dengan pengucapan yang disesuaikan dengan etnis Aceh. Dari kata zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah.

Dayah merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling tua di Aceh dan Nusantara. Ia telah ada dan berkembang sejalan dengan perkembangan ajaran Islam di Aceh. Dayah telah memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan dan kemajuan Aceh. Melalui Dayah, nilai-nilai keacehan dan keislaman telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 

Sebelum Belanda datang ke Indonesia, Dayah merupakan pusat pengembangan dan pembinaan masyarakat, yang dilakukan melalui kegiatan penyebaran agama dan memiliki peran yang penting. Setelah Belanda berhasil menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara, Dayah menjadi pusat perlawanan dan pertahanan terhadap kekuasaan Belanda. Dayah berfungsi sebagai pusat penyebaran agama Islam di kalangan masyarakat dan sebagai pusat perlawanan terhadap penjajah.

Pendidikan Dayah di Aceh dimulai dari Perlak Aceh Timur dan menyebar ke seluruh Aceh, bahkan hingga ke Kedah dan Pahang, Malaysia saat ini. Pada masa itu, Aceh menjadi pusat perhatian umat Islam di Asia Tenggara. Di sisi lain, Aceh telah memiliki kekuatan dalam mempertahankan Negeri Islam dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, Aceh dijuluki sebagai Serambi Mekkah. Salah satu pusat pendidikan tertua di Aceh adalah Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga (Bireun), yang telah melahirkan banyak ulama, juru dakwah, dan tenaga pendidik.

Dikabarkan, cerita yang telah menjadi legenda dan terkenal di kalangan masyarakat, kegiatan belajar-mengajar telah ada di Masjid Raya Samalanga sejak zaman Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu, hanya ada satu masjid yang terletak di daerah Peudada, Peulimbang, Jeunieb, Meureudu, Pante Raja, dan sekitarnya. Oleh karena itu, orang-orang di daerah tersebut pergi ke Masjid Raya Samalanga untuk melaksanakan shalat Jumat. Mereka berangkat pada hari Kamis dan menginap di sekitar Masjid Raya Samalanga. 

Pada malam Jumat, bersama dengan masyarakat sekitar, mereka mengikuti pengajian yang dipimpin oleh Imam Besar Masjid yang ditunjuk oleh Ulee Balang (Raja Samalanga). Ulee Balang, atau raja pertama Samalanga, adalah Tun Sri Lanang (1613-1659), dan Imam Besar pertama Masjid Raya Samalanga adalah Faqeh Abdul Ghani, dan dayah tersebut masih bertahan dan masih terus berkang pesat sampai sekarang yg di pimpim lang sungai Oleh seorang tokoh ulama yang karismatik yaitu syekh H. Hasanuel bashri atau akrap di sapa dengan panggilan abu mudi.

Membicarakan tentang peran dayah, terkait erat dengan tujuan pendidikan dayah/pondok pesantren, yaitu untuk mempersiapkan santri agar dapat mendalami dan menguasai ilmu agama Islam (bertafaqquh fi al-din) khususnya dalam bidang akhlak. Tujuan ini diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama yang mampu mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam, serta menjadi benteng pertahanan umat dalam bidang akhlak. Selain itu, pendidikan dayah juga bertujuan untuk meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor.

Tampaknya telah muncul suatu perubahan iklim pendidikan yang baru di Aceh, sejak Dayah Mudi mesjid raya melalui Yayasan Pendidikan Islam Al-Aziziyah mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) AlAziziyah. Ini adalah langkah perubahan yang sangat berani di kalangan ulama Dayah. Namun, langkah ini mendapat penolakan yang luar biasa dari ulama Dayah lain yang tidak setuju. Mereka khawatir bahwa pendidikan Islam modern seperti ini dapat menghilangkan identitas khas dari Dayah itu sendiri.

Namun, kekhawatiran tersebut nampaknya hampir tidak terjadi. Model pendidikan yang diterapkan saat ini di Dayah MUDI Mesra Samalanga masih mempertahankan ciri khas dayah tradisional yang dipadukan dengan pendidikan modern. Hal ini merupakan pemandangan yang baru di Aceh, meskipun telah lama dilakukan oleh ulama-ulama pesantren di Jawa, bahkan sejak masa setelah kemerdekaan. Contohnya adalah pesantren Tubu Ireng yang didirikan oleh KH. Hasyim As'ary di Jawa Timur. Para alumni STAI Aziziyah yang berprestasi telah dipersiapkan untuk menjadi dosen di masa depan, mereka diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi magister (S2). Mereka yang dipilih adalah orang-orang yang dipercaya untuk melanjutkan tradisi dayah yang bernuansa modern tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun