Mohon tunggu...
Muhammad maulidinasrulloh
Muhammad maulidinasrulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa nyell

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rindu Tak Bersuara

9 Mei 2021   00:05 Diperbarui: 9 Mei 2021   00:47 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TENGG!!,,TENGG!!,,TENGGG!!

Suara lonceng yang terdengar sangat nyaring di telinga, memaksa akan berhentinya semua kegiatan, dan membuat setiap sepasang kaki berbondong bondong menuju tempat untuk memenuhi panggilan penciptanya. Tepat ketika surya mulai bersembunyi dan hilang berganti dengan kehadiran senja yang damai, dikacaukan oleh gemuruh anak berlarian dari segala penjuru arah menuju satu arus yang sama.

Sebuah bangunan yang termasuk berumur paling tua di tempatku tinggal sekarang, sebuah masjid yang tidak terlalu megah dengan arsitektur bangunannya seperti bangunan-bangunan jawa pada umumnya. Dimana tempat aku dan teman – teman ku, dan siapapun  itu yang seiman denganku untuk beribadah di dalamnya.

Min aina ya akhii?”Seorang berbadan tegap dengan peci hitam ditambah dengan jas yang lengkap dengan sorban tergelar di bahu kirinya menghampiri aku dan menanyaiku dengan bahasa yang asing dan terasa tabu di benakku.

“ Maaf kak saya telat”Jawabku dengan nada mengerut dan menengadahkan wajahku ke tanah.

Maadza takallam?!!”Tak sempat kujelaskan alasanku, dengan cepatnya ia menyahutiku kembali. Tanpa mau terima satu dua kata yang keluar dari mulutku ia sudah menyuruhku dengan paksa untuk pergi ke lapangan yang cukup luas persis di sebelah masjid.“hfftt..selamatlah aku sekali ini”kataku dalam hati, terasa sedikit lega karena tak ada tindakan darinya. Bergegaslah aku ke tempat yang dimaksud orang berpeci hitam tadi.

Terlihat belasan anak berdiri rapi yang lurus shaf dan banjarnya, lurusnya sudah seperti barisan reguku ketika aku pramuka di SD dulu. Cukup bingung aku memikirkan, untuk apa mereka berbaris, apa iya mereka akan berpramuka menggunakan baju koko dan peci, dan ini hari selasa, jarang sekali aku menjumpai kegiatan pramuka di hari selasa. Apalagi tanpa membawa tongkat atau semacamnya, aneh aneh saja aku ini haha. Terlepas dari pikiran bodohku ternyata aku terdiam berdiri menghadap serong tak jauh dari barisan itu dan mengamatinya satu per satu, mengapa kepala mereka semua tertunduk dan pasrah seperti akan mendapat sesuatu yang menyeramkan.

            “anta ya akhi, ta’al!!”Seseorang yang berbeda tapi sama menakutkannya seperti orang berpeci hitam yang kutemui tadi, ia berteriak sesuatu, tapi entah kepada siapa aku tak tau, namun wajahnya mengarah kepadaku. Akupun membalas menoleh kepadanya meski tak tau apa yang dibicarakannya, tapi aku masih tau bahasa tubuh manusia. Dan aku rasa ia bermaksud memanggilku, dan ingin berbicara kepadaku.

dan spontan saja kakiku berjalan ke arahnya sebagai respon dari pikiranku tadi. Tidak jauh aku berjalan hanya sepuluh sampai sebelas langkah saja aku sudah berdiri tepat di depannya, kuambil jarak beberapa lengan. “anta tholiibun jadiid?”  pertanyaan pertama yang ia ajukan kepadaku. Lagi lagi aku tak tau apa arti ucapannya, aku hanya tau kalau yang ia ucapakan adalah bahasa arab, aku hanya terdiam dan mencoba menerka apa maksudnya, tak lama ia kembali berbicara

“Apa kamu murid baru akhi?”

“iya kak,,”  jawabku. Karena aku memang baru saja tepat tujuh hari di tempat ini. Kemudian orang yang berbicara denganku barusan menyuruhku untuk kembali dan bergabung dengan teman – temanku di dalam masjid, tanpa berfikir panjang aku langsung bergegas menuju masjid itu. Terlihat ratusan anak berpeci putih sibuk dengan apa yang dilakukannya. Terdengar bacaan ayat suci al-quran dengan sangat khusyu’ dan bersahutan, seakan di tempat itu hanya ada mereka yang sedang menghadap kepada tuhannya, membaca firman – firmannya dengan tulus dan penuh kerendahan hati. Ada juga yang terlihat melantunkan al-quran dengan matanya yang tertutup, aku sudah mengira bahwa mereka itu pasti para penghafal al-quran.

Akupun bergabung kedalam kumpulan anak – anak dengan berbagai kesibukannya itu, aku melihat ada tempat kosong tepat di sebelah pintu masjid itu, kupilihlah tempat itu untuk duduk dan juga melakukan aktivitasku, sebentar aku menyapa kanan kiriku dengan sedikit senyuman hangat. Kemudian kubuka al-qur’an yang memang sengaja sudah disediakan oleh para pengurus masjid itu, dan surat yang aku baca adalah surat ar-Rahman, karena aku sudah terbiasa membacanya setiap sesudahsholat subuh bersama ayah seperti dirumah. Hanya surat itu saja yang aku sukai, entah mungkin karena terlalu sering membacanya atau ada makna tersendiri yang membuat hati tenang saat membaca. Bersamaan selesai kubaca al Qur’anku terdengar pula suara adzan untuk sholat magrib.“Assalamu’alaikum warahmatullah”,.Usai imam mengucapkan salam disambung dengan dzikir dan do’a, kemudian pergi meninggalkan tempatnya tak lama menyusul seseorang yang berdiri menggantikan imam persis di tempat sebelumnya.

Bubarlah kami menuju tempat dan aktivitas masing – masing, kebetulan hari itu hari sabtu. Semua kegiatan dilengangkan oleh pesantren, seusai sholat isya’ setiap santri bebas melakukan aktivitas sesuka hatinya, so pasti dengan tidak melakukan yang aneh – aneh. Teman – temanku sibuk dengan dirinya sendiri, kulihat ada yang sedang membaca buku, kulihat yang ia baca adalah novel milik tere liye tapi entah apa judulnya, tere liye salah satu penulis favoritku karena bukunya selalu membuat aku terkagum dan ingiiin sekali menjadi seorang penulis yang hebat sepertinya.

“eh gabung yukk, ente udah cuci baju kah?” tanya si Dadang dengan logat Sunda nya. “udah Dang, kemaren malem aku udah nyuci, kamu aja deh.” Tolakku karena memang kemarin malam aku sudah mencuci baju dengan arya setelah kegiatan “muhadlarah” atau pidato dalam bahasa arab. “yaudah aku duluan deh”, “oke, ati ati deh” sahutku menutup pembicaraan dengan si Dadang yang dalam waktu semenit saja sudah tidak kelihatan

batang hidungnya. Kembali lagi padaku yang hanya terduduk diam lamat – lamat, tak tau apa yang mau kulakukan, ada secercah rasa yang mengganjal dihati. Semakin membuatku merasa tidak enak ketika melihat nomor HP bunda yang tertulis di pintu almariku. “ duhhh ini pada kenapa si hati ini” gumamku dalam hati. Semakin lama aku semakin teringat pada bunda. Sudah persis tujuh hari kulalui, hati ini terus merintih merindukan bunda. Rindu akan curahan hati cerlangnya yang selalu menyemangati hari – hariku, mungkin pula tak kuasa bertanya kabar bunda di rumah, keadaan bunda disana. Aku hanya bisa berdoa diam diam, sediam air tenang yang menghanyutkan, untuk kesehatan ibu serta memohon kepadaNya untuk selalu menjubahi bunda dengan rahmatNya, supaya kelak saat aku lulus dari pondok masih bisa bertemu dengan bunda.

Bunda, bagaimana keadaan bunda.....

Kalimat itu yang selalu terlamat dalam benakku, bagai lirih angin yang selalu mengiangi padi padi di sawah, hingga tak kusadari sudah satu bulan aku tinggal di pesantren ini. Bunda yang tak pernah lelah dan letih menerima kenakalan dan seluruh kesahku tak pernah sekalipun juga ia mengeluh kendati aku menjadi beban di fikirnya. Bahkan bunda selalu memupuk harapan yang indah saat aku mengalami kesulitan, selalu menghibur dan menyemangati saat gundah gulana menghampiri. Dan selalu membimbingku untuk terus melangkah maju penuh semangat menempuh hari esok. Rasanya, semua itu telah menjadi jubah dalam jiwa ini untuk selalu merindukannya, saat di pondok.

Pernah suatu ketika, aku memimpikan bunda datang menjengukku. Peluknya erat padaku dengan tangis ridunya yang tersedusedu. Pyarrrrrr.... bak sebuah piring yang pecah, ambyar tak karuan. Hatiku hancur berkeping – keping, merasakan rindu yang serindu rindu nya, rindu yang teramat sangat, tak kuat rasanya menahan pilu rindu ini padanya. Aku terbangun bergegas berganti baju koko dan langsung ku ambil air wudlu. Kutunaikan 2 raka’at shalat malamku. Dalam sujud terakhirku aku benar- benar tak kuasa menahan rinduku. Pecah tangis air mata yang tiba tiba mengalir di pipiku dengan sendirinya. Seusai salam tubuhku terasa lunglai seakan tak ber energi. Hati pun menjerit – jerit pada langit, “ Ya Allah...” Shalatku tak khusyuk, sepanjang shalat aku teringat ibu. Wajahnya bertengger dalam benak. Mimpi itu benar – benar membuatku pada titik paling bawah. Seperti embun pagi yang menggelayut pada ujung daun dan tak lama akan jatuh ke tanah.

Seharian penuh aku masih tidak bisa lepas darinya, selepas shalat isya’ aku hanya termenung menyendiri di pojok masjid seraya berdoa untuk bunda. “ semoga bunda selalu panjang umur “. Pula doaku teriring air mata yang benar benar tak kusadari dengan mandirinya membasahi pipi. Dalam dingin dan sepinya malam kembali aku terbangun dan kutunaikan sholat malamku. Kucurahkan rinduku dalam sujudku, sajadahku menjadi saksi dalam basahnya air mataku, yang tak pernah tau rasanya rindu ini. Rindu yang tak berbalas. Rindu yang tak bersuara. Hanya suara jeritan dalam hati ini adanya, rinduku pada bunda. Rindu tak bersuara.

Tugas mata kuliah bahasa indonesia ( Pak Rudi Umar Susanto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun