"Kalian generasi terang benderang, kalian semua luar biasa!!" sepenggal kata dari pimpinan madrasah itu akhirnya dapat memecah tangis bahagia. Bagi mereka itu adalah sebuah kata yang mewakili keberhasilan mereka dalam menyukseskan acara terakhir dan terbesar ini.
Sementara itu, di salah satu sudut pesantren terlihat para santriwan kelas akhir sedang menikmati indahnya malam meski mendung menutupi terang purnama. Nyala api unggun terasa menyelimuti kulit. Jagung dilapisi mentega terpanggang diatas nyala api, letupan dan harum baunya membuat mereka larut dalam syahdunya malam itu.
Seakan mereka lupa, dan mungkin memang ingin melupakan segala penyesalan yang sejak satu bulan yang lalu hadir secara tiba-tiba. Sebuah mimpi buruk yang tak pernah diingin-kan akhirnya menjadi kenyataan.
***
Satu bulan yang lalu
"BENERAN???" teriak salah seorang santri membuat kamarnya menjadi hening seje-nak. Seketika seluruh mata tertuju padanya. Ia tampak sangat terkejut dengan kabar yang baru saja didengarnya. Tak lama kemudian adzan pun terdengar, dan mereka bergegas untuk berangkat menunaikan ibadah.
Maghrib kala itu tak seperti biasanya, mendung terlihat menutupi senja, semilir angin membuat bambu-bambu bernyanyi dan bergoyang perlahan. Terlihat berjajar lengkap para asatidz kepengasuhan putra didepan masjid. Santri-santri mulai berhamburan keluar untuk sejenak mengambil wudhu. Masjid sesaat terasa penuh setelah semua santri dan asatidz memadati jamaah sholat maghrib kala itu.
Tiba di penghujung dzikir, seorang ustad senior masuk dari pintu ta'mir kemudian berdiri disamping mimbar membawa sebuah map biru berisikan selembar kertas. Wajah garangnya terlihat serius dan menakutkan, seperti tatapan burung hantu di malam hari. Mendadak suasana terasa amat menegangkan laksana sedang berlangsung sebuah eksekusi mati. Tangannya cakap membawa mikrofon bagai pedang yang siap dihunuskan.
Lalu apa isi map itu? Ya, tidak lain tidak bukan adalah surat pembatalan acara mahakarya seni putra. Acara terbesar itu dibatalkan karena banyaknya prosedur yang belum dapat ditepati. Alhasil segala yang berhubungan dengan acara itu diberhentikan, mulai dari latihan hingga bazar untuk mengumpulkan dana.
Di teras Masjid salah seorang santri kelas akhir nampak sedang mencoba untuk menegarkan temannya yang terlihat sangat terpukul dengan keputusan ini. Bagaimana tidak? Berbagai usaha yang telah mereka lakukan kini telah berakhir. Sia-sia hilang begitu saja bagai api yang melahap kayu bakar.
Hari hari berikutnya terasa melelahkan, tiada lagi euforia mahakarya, santri putra yang semula lazim terlihat semangat latihan menirukan gerakan tari dari instruksi pemimpinnya meskipun di dinginnya malam kini tiada lagi. Semua desain banner, umbul-umbul, stiker, hingga souvenir kini tak lagi dapat direalisasikan. Semua telah usai, kecuali beberapa bagian dekorasi yang tetap membantu santri putri menghias dan mendirikan background.