Mohon tunggu...
Muhammad Farizal Arbani
Muhammad Farizal Arbani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengusung Green Ekonomi, Melahap Aset Sumber Daya!

13 Mei 2025   12:45 Diperbarui: 13 Mei 2025   12:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi green ekonomi yang tidak sesuai dengan prakteknya (sumber langsung penulis) 

Oleh: Farizal

Dalam wacana pembangunan berkelanjutan, istilah "green economy" kerap dikumandangkan sebagai solusi ideal untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Namun di balik retorika progresif tersebut, kebijakan-kebijakan yang diadopsi dalam kerangka green economy justru kerap melanggengkan praktik eksploitasi dan privatisasi sumber daya alam yang selama ini dikritik oleh aktivis lingkungan dan masyarakat adat.

Secara formal, green economy dimaknai sebagai sistem ekonomi yang menghasilkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Namun implementasinya di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan ironi yang mencolok. Program-program transisi energi, konservasi berbasis pasar, dan investasi dalam "teknologi hijau" sering kali tidak lebih dari repackaging praktik kapitalisme ekstraktif dalam kemasan hijau.

Salah satu contoh nyata adalah program pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), seperti proyek geothermal, ladang angin, atau PLTS skala besar yang diklaim sebagai bagian dari solusi iklim. Alih-alih memberdayakan masyarakat lokal, proyek-proyek ini justru mengalihfungsikan lahan produktif dan wilayah adat tanpa proses persetujuan yang adil dan setara (FPIC). Sumber daya yang sebelumnya dikelola secara komunal kini menjadi objek investasi korporasi, dengan dalih efisiensi dan keberlanjutan.

Lebih jauh, kebijakan carbon trading atau offset karbon melalui skema REDD+ telah menciptakan pasar baru bagi perusahaan-perusahaan besar untuk mempertahankan jejak karbon mereka, sembari mengklaim kontribusi terhadap penurunan emisi global. Dalam praktiknya, skema ini telah menimbulkan konflik lahan, marginalisasi komunitas lokal, serta memperluas kontrol negara dan swasta atas hutan-hutan tropis yang semestinya menjadi ruang hidup masyarakat adat.

Green economy, dalam konteks ini, bukan hanya gagal menyelesaikan akar krisis ekologis, tapi juga berpotensi memperparah ketimpangan struktural. Ketika kebijakan hijau hanya melayani kepentingan pemodal dan elite birokrasi, maka yang terjadi adalah transformasi hijau semu---yang secara estetis tampak bersih, namun secara substansi tetap melanggengkan logika perampasan sumber daya.

Oleh karena itu, perlu ada kritik mendalam terhadap arah dan isi kebijakan green economy yang saat ini dijalankan. Transisi energi dan pembangunan berkelanjutan tidak boleh dijadikan kendaraan baru bagi kolonialisme sumber daya dalam bentuknya yang mutakhir. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan berbasis lingkungan benar-benar berorientasi pada keadilan ekologi, demokratisasi pengelolaan sumber daya, dan pengakuan terhadap hak-hak komunitas lokal.

Tanpa reformasi struktural dan partisipasi publik yang sejati, green economy tak ubahnya proyek kapitalisme hijau yang hanya mengganti warna, bukan watak dasarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun