Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kepahlawanan di Dunia Media Sosial

10 November 2021   08:17 Diperbarui: 10 November 2021   08:20 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tidak semua orang mampu untuk menjadi "pahlawan" di media sosial | Ilustrasi oleh Erik Lucatero via Pixabay

Saya tahu itu contoh yang buruk, tapi Anda mengerti maksud saya. Dan begitu pun media sosial: kita sendirilah yang menjadikannya baik atau jahat.

Asumsi tersebut membawa saya pada satu kesimpulan yang aneh, tapi benar, bahwa dalam dunia media sosial yang seiring waktu semakin masif, kita mesti menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri.

Bayangkan bahwa media sosial adalah kapal layar yang perawakannya sedemikian megah sehingga siapa pun yang melihatnya merasa terpikat untuk menaikinya, dan ketika Anda melihat ke ruangan kecil yang menjadi pusat kemudi, Anda sendirilah pengemudinya.

Andalah nakhodanya.

Sebagai nakhoda, Anda memiliki kuasa untuk membelokkan kapal ke arah mana pun sesuai putaran tangan Anda sendiri pada roda kemudi. Anda dapat berkunjung ke pulau apa pun yang memikat Anda, namun berhati-hatilah karena tidak semua pulau aman untuk manusia.

Mungkin Anda menemukan pulau yang dipenuhi ular-ular berbisa, atau bisa juga dihuni oleh suku-suku domestik yang secara mengejutkan melempari Anda dengan tombak. Saya pikir media sosial juga begitu, dan saya tidak melebih-lebihkan.

Hal utama yang mesti Anda ingat adalah, untuk menjadi seorang nakhoda yang andal, Anda harus memiliki kecakapan dan kapasitas tertentu agar bisa mengendalikan kapal dengan sebagaimana mestinya.

Tanpa itu, Anda mungkin akan takluk oleh ombak yang begitu ganas, atau badai laut yang tidak pernah Anda perkirakan sebelumnya.

Demikian pula media sosial, Anda dituntut untuk memiliki kapasitas tertentu supaya apa-apa yang menjadi kengerian dari media sosial tidak melahap Anda semudah anak kecil menggigit habis permennya.

Kita berada dalam pusaran era post-truth di mana opini publik jarang dibentuk oleh data, fakta, dan statistik; melainkan oleh perasaan dan keyakinan pribadi yang seakan-akan tidak bisa dinafikan oleh hal apa pun, termasuk kebenaran yang menghampiri mukanya sendiri.

Hal ini diperparah dengan panggung politik yang sudah lama merambah ke media sosial sehingga pendapat kita tentang permasalahan publik sering disetir oleh berbagai kelompok kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun