Itulah semangat yang hendak disampaikan oleh para deklarator Sumpah Pemuda. Ikrar mereka merupakan kristalisasi kegigihan untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Tapi karena lawan yang kita hadapi bukanlah penjajah asing, melainkan ego diri kita sendiri; bersediakah kita membawa semangat Sumpah Pemuda ke dalam keseharian kita yang selalu diselubungi penindasan dan kepalsuan?
Semangat Sapere Aude yang juga dibawa oleh Sumpah Pemuda patut menjadi cermin kita bersama tentang seberapa jauh kita mampu merangkul kebenaran secara mandiri dan terlepas dari dogma apa pun yang dipenuhi ranjau ganas.
Kita perlu berpikir mandiri secara kritis untuk menentukan sikap kita sendiri terhadap segala informasi yang ditawarkan pada kita.
Relevansi Sumpah Pemuda untuk kita sekarang ini adalah keberanian untuk berdiri teguh di spektrum kebenaran tanpa terombang-ambing oleh kepalsuan dan kesesatan yang enak didengar.
Tekad pemuda kala itu untuk menetapkan identitas nasional dapat kita maknai sebagai kesediaan kita dalam menunjukkan jati diri sebagai manusia sejati, dan sesungguhnya itu lebih dari cukup karena belakangan banyak orang hanya "mengaku-ngaku" sebagai manusia.
Nilai-nilai Sumpah Pemuda sebenarnya dapat membantu kita untuk bertahan dalam kengerian era post-truth, tapi toh kita memilih untuk mengabaikannya demi duduk nyaman bersama mayoritas dalam manipulasi yang begitu enak didengar.
Sebagian dari kita menyangkal pemikiran lain dan hanya gemar mendengarkan pendapat sendiri seperti berteriak di dalam gua yang kemudian bergema untuk dirinya sendiri. Mereka lebih mengagumi parasnya daripada menilik keindahan lainnya dalam selimut kosmos.
Kini sudah waktunya kita berani untuk memproduksi pemikiran sendiri dan bukannya sekadar mencerna dan menelan informasi. Pengetahuan melahirkan kekuatan bagi siapa pun yang memilikinya, dan itu cukup untuk membuatnya bahagia dalam keanggunan dunia ini.
Memproduksi pemikiran sendiri bukan berarti menciptakan kebohongan lainnya. Itu hanyalah indikasi sederhana bahwa kita mesti meningkatkan ketajaman intelektualitas kita, dan berarti senantiasa belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Mungkin dalam kebisingan yang tiada henti ini, kita didorong untuk belajar "tidak bicara", dan coba untuk mengutarakan makna lewat pikiran serta perasaan. Maka akankah dunia menjadi lebih baik dalam keheningan yang mendamaikan itu?