Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

4 Mitos tentang Kebahagiaan yang Banyak Memperdaya Kita

7 Agustus 2021   06:00 Diperbarui: 7 Agustus 2021   06:32 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa kepercayaan kita tentang kebahagiaan ternyata hanyalah mitos belaka | Ilustrasi oleh Pezibear via Pixabay

Saya selalu ingin untuk membuktikan bahwa kepercayaan semacam itu adalah keliru. Alasannya sederhana, bahwa hal tersebut terlalu mengerikan untuk diklaim sebagai fakta. Tapi saya tidak cukup puas dengan jawaban saya sendiri hingga belakangan ini saya mengalaminya.

Jika Anda mencari orang yang rajin menabung, saya adalah orang yang Anda cari. Secara harfiah memang demikian. Tetapi beberapa hari yang lalu, saya kehilangan separuh tabungan saya untuk alasan yang menyedihkan.

Di samping itu, saya memeriksa tentang bagaimana reaksi saya atas kehilangan itu dan seberapa marahnya saya atas kesia-siaan jerih payah di masa lalu. Bahkan saya memaksakan diri untuk jujur tentang ketidakadilan yang hidup berikan terhadap saya.

Dan semua upaya itu tetaplah tidak berguna. Ketika pikiran saya berkecamuk tentang tragedi itu, hati nurani saya selalu menyanggah bahwa pada kenyataannya, saya baik-baik saja. Dalam artian, tidak terjadi apa-apa seperti yang saya kira akan begitu buruk.

Tentu perasaan yang sama tidak akan terjadi pada seorang kakek tua miskin yang kehilangan uangnya karena dirampok. Saya tahu itu. Tapi pertanyaan saya adalah "apa"; apa yang membuat saya bisa menerima tragedi itu?

Suatu momen, saya teringat bahwa sebelum tabungan itu hilang separuh, saya telah menghabiskannya sedikit untuk membeli sesuatu yang sangat saya butuhkan. Dan saya memeriksa bahwa keadaan saya saat ini begitu baik, bisa dibilang kebutuhan masih terpenuhi.

Apa yang kemudian saya sadari adalah, bukan jumlah uang yang membuat kita bahagia, melainkan seberapa efektif kita menggunakan uang tersebut. Dengan kata lain, rasa cukuplah yang sebenarnya membantu kita untuk berbahagia.

Kita melihat orang-orang berkecukupan yang masih saja diselimuti depresi, atau para pejabat kaya yang tetap korupsi. Lantas kita bertanya-tanya: apa lagi sih yang mereka butuhkan untuk bahagia? Jawabannya ada pada cara mereka menggunakan kekayaannya.

Mungkin kita tidak benar-benar tahu bahwa kekayaan seseorang yang begitu melimpah adalah hasil utang sana-sini, sehingga mereka tetap depresi dalam keadaan berkecukupan ... fakta bahwa mereka mesti menutupi lubang yang digalinya sendiri.

Para pejabat yang punya rumah bak istana tetap korupsi, barangkali kekayaan mereka hanya digunakan untuk kesenangan singkat, sehingga kebahagiaan apa pun yang mereka rasakan adalah kegembiraan yang amat rapuh dan tetap merasa berkekurangan.

Atau beberapa publik figur yang berpesta setiap malam, kemudian kita mendapati mereka telah mengonsumsi obat-obat terlarang. Apakah itu menyangkal mitos yang sedang kita bahas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun