Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Inilah 4 Paradoks dalam Kehidupan yang Penting untuk Diketahui

7 April 2021   09:52 Diperbarui: 10 April 2021   19:46 12554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup adalah tentang kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas | Ilustrasi oleh Arek Socha via Pixabay

Dalam kehidupan yang sering random ini, kita sering menemukan diri kita dalam situasi yang mengalahkan harapan kita sendiri.

Dulu saya mengatakan pada diri sendiri bahwa saya harus banyak bersosialisasi. Dan setelah waktu berhari-hari dihabiskan dengan orang lain, saya berharap bisa berada di rumah sendirian.

Barangkali Anda sedang berusaha untuk menemukan pujaan hati. Kemudian saat Anda mendapatkannya, Anda merasa lebih baik menjadi jomlo.

Begitulah hidup. Kita sering diberi angan-angan untuk menang, kenyataannya malah nasib malang.

Manusia payah. Kita tidak mungkin memenangkan hidup. Kita memiliki begitu banyak kebutuhan dan keinginan yang saling bertentangan. Dan karenanya, kita bergerak dalam ketidakpuasan.

Kita semua mengalami ini. Bisakah kita menang? Atau apakah kita ditakdirkan untuk selalu merasa tidak puas? Mungkinkah kita merasa puas dengan hidup kita?

Ya, kita bisa merasa puas. Tapi tentu tidak sederhana. Satu jalan yang efektif untuk bisa merasa puas adalah memahami berbagai paradoks dalam kehidupan.

Paradoks adalah dua hal yang berbeda, tetapi benar dalam keutuhannya. Ia menolak untuk membagi dunia ke dalam kelompok-kelompok.

Paradoks memberi ruang untuk sesuatu yang tidak masuk akal. Ia melihat segala yang bertentangan sebagai sama dan utuh di dalam kebenarannya.

Paradoks berisi kontradiksi yang absurd dan benar secara bersamaan.

Bisa dibilang, inilah hukum-hukum yang menggerakkan segala yang ada. Dengan memahami paradoks kehidupan, kita pun turut memahami kenyataan yang terjadi.

Inilah akar kenyataan agar kita bisa memahami arti hidup yang sesungguhnya. Jadi, mari kita mulai!

1. Paradoks Kebahagiaan

Selama ini kita percaya dengan sebuah hukum yang berbunyi, "Kejarlah kebahagiaan, maka begitulah kita menjadi bahagia."

Beli X dan berbahagialah. Dapatkan Y dan berbahagialah. Pelajari Z dan berbahagialah.

Namun, faktanya tidak begitu. Ketika kebanyakan orang mencari kebahagiaan, mereka sebenarnya mencari kesenangan: makanan enak, lebih banyak waktu untuk film, mobil baru, pasangan baru, kehilangan berat badan 5 kg, menjadi populer.

Kesenangan adalah tuhan palsu. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memfokuskan energinya pada kesenangan materialistis dan dangkal akan menjadi lebih cemas, lebih tidak stabil secara emosional, dan kurang bahagia dalam jangka panjang.

Kesenangan adalah bentuk kepuasan hidup yang paling dangkal dan karenanya yang termudah. Meskipun perlu, tapi tidaklah cukup. Ada yang lebih dari itu.

Bagi saya, membaca satu buku membuat saya lebih bahagia ketimbang menamatkan satu video game. Menulis satu artikel membuat saya lebih bahagia ketimbang bermain media sosial selama 2 jam.

Memulai penulisan novel membuat saya lebih bahagia daripada pergi makan ke restoran bintang lima.

Dan lucunya, ketiga aktivitas di atas sangatlah tidak menyenangkan, memutar otak, dan membutuhkan pengaturan pikiran yang tinggi, bahkan berpotensi menimbulkan stres dan frustrasi.

Namun, itu adalah beberapa momen dan aktivitas yang paling berarti dalam hidup saya. Meskipun itu melibatkan rasa sakit, kekesalan, bahkan keputusasaan, tapi saat saya bisa melakukannya, mata saya seakan berkabut untuk melihat potensi itu.

Mengapa?

Karena kegiatan seperti itulah yang memungkinkan saya menjadi diri saya yang ideal. Kebahagiaan adalah proses menjadi diri ideal kita.

Inilah alasan mengapa mengejar kebahagiaan pasti akan membuat kita tidak bahagia. Karena itu mengandung arti bahwa kita belum mendiami diri ideal kita, tidak selaras dengan kualitas yang kita inginkan.

Lagi pula, jika kita memerankan diri ideal kita, kita tidak perlu lagi mencoba untuk bahagia. Bukannya kebahagiaan itu sendiri ada di dalam diri kita, melainkan kebahagiaan itu terjadi ketika kita memutuskan untuk mengejar apa yang ada dalam diri kita.

Maka, mengejar kebahagiaan bukan saja menghancurkan diri sendiri, tapi juga tidak mungkin. Itu seperti mencoba menangkap wortel yang tergantung di seutas tali, yang terikat pada sebatang tongkat, dan menempel pada punggung Anda. Semakin Anda mengejar, semakin Anda dipaksa untuk terus maju.

Ketika Anda memutuskan bahwa wortel tersebut adalah tujuan akhir, Anda niscaya mengubah diri Anda menjadi sarana untuk mengejarnya. Dan dengan mengejar kebahagiaan, secara paradoksal justru membuatnya sulit diraih.

Mengejar kebahagiaan merupakan nilai yang beracun yang telah sekian lama menandai kebudayaan kita. Itu menghancurkan diri dan menyesatkan.

Hidup dengan baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya baik adalah menderita untuk alasan yang benar.

Kebahagiaan adalah kupu-kupu dan nestapa adalah rajawali.

2. Paradoks Kemajuan

Paradoks ini cukup kompleks dan sangat cocok untuk dijadikan satu artikel tersendiri. Tapi, saya punya gambaran besarnya.

Paradoks kemajuan mengatakan, "Semakin pesat kemajuan dalam segala bidang kehidupan, semakin besar kemungkinan Anda untuk menderita."

Ini benar-benar terjadi di dalam masyarakat modern. Kita telah membuat langkah yang luar biasa dalam bidang transportasi, energi, komunikasi, pertanian.

Namun terlepas dari segala kemajuan itu, masalah sosial dan kesulitan pribadi tampak lebih menyebar dan lebih menonjol ketimbang sebelumnya.

Kita bisa bercermin pada kehadiran media sosial. Di balik manfaatnya dalam berkomunikasi, media sosial justru menimbulkan lebih banyak penderitaan bagi kita.

Beberapa dari kita menangis di pojokan karena merasa iri dengan kehidupan orang lain. Sebagian lagi meronta-ronta ingin berparas seperti para artis. Sebagian lagi mengalihkan dunianya pada dunia maya dan memilih lari dari dunia nyata.

Pada intinya, kemajuan yang pesat juga menimbulkan kesenjangan yang luar biasa tinggi. Ini melahirkan penderitaan yang lebih kompleks, bervariasi, bahkan tak terbatas. Satu kata yang menyindir di media sosial saja bisa menimbulkan perang antar RT!

Paradoks ini juga berkaitan dengan persepsi yang keliru bahwa segalanya yang dimiliki akan abadi. Padahal yang sebenarnya terjadi, semakin banyak kita memiliki, semakin banyak pula kita akan melepas.

Ketidakrelaan atau ketakutan untuk melepas itulah yang menjadi biang kerok penderitaan dari masyarakat modern. Kita sudah dibutakan dengan variasi sumber pemuas kebutuhan yang terus meningkat. Kita melupakan esensi terpenting dari hidup.

Paradoks kemajuan secara tidak langsung menunjukkan bahwa semakin kaya, sejahtera, dan aman lingkungan yang Anda tinggali, semakin mungkin Anda untuk bunuh diri.

3. Paradoks Pilihan

Selama ini kita beranggapan bahwa semakin banyak pilihan yang kita punya, semakin besar potensi kita untuk menjadi bahagia.

Asumsi seperti itu lahir dari asumsi lainnya yang keliru. Kita pikir kesejahteraan lahir dari kebebasan. Dan untuk mendapatkan kebebasan yang lebih banyak, kita harus memiliki lebih banyak pilihan.

Terdengar masuk akal, tapi itu tidak benar. Selamat datang di Paradoks Pilihan.

Sebelum membuat keputusan, kita akan membandingkan segala alternatif terhadap hasil yang kita harapkan. Namun justru, terlalu banyak pilihan akan membuat kita semakin bingung dan gelisah.

Kita menjadi khawatir dengan keputusan dan pilihan kita sendiri. Kita menjadi curiga dengan pilihan kita sendiri, "Jangan-jangan alternatif lain adalah lebih baik."

Kebebasan mutlak membuka kesempatan untuk makna yang lebih besar, tapi pada dasarnya, tidak ada makna apa pun di dalamnya.

Selain itu, terlalu banyak pilihan akan mendorong kita untuk berekspektasi lebih tinggi. Padahal, pilihan yang begitu banyak justru semakin menjauhkan kita dari pilihan yang benar atau sempurna.

Pada akhirnya, ini mendorong kekecewaan yang begitu dalam.

Paradoks pilihan bisa kita lihat secara nyata dalam acara kuis "Super Deal". Saat peserta dihadapkan pada banyak pilihan, mungkin dia berbahagia karena merasakan kebebasan.

Padahal sebenarnya, dia semakin menjauh dari hadiah utama karena kemungkinan untuk "salah memilih" semakin besar. Dengan kata lain, semakin banyak variasi pilihan malah membuat kita diperbudak oleh pilihan kita sendiri.

Di dalam kehidupan, terlalu banyak pilihan sama dengan kedangkalan. Maka satu-satunya cara untuk mendapatkan makna yang dalam terhadap sesuatu adalah dengan berkomitmen. Ketiadaan komitmen hanya mendatangkan kedangkalan pengalaman.

Dengan inilah kita tahu bahwa kemerdekaan sejati justru datang ketika kita mampu "berkata tidak" pada pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan prioritas/tujuan/komitmen kita.

Untuk sungguh mengapresiasi sesuatu, Anda harus membatasi diri Anda sendiri. Ada tingkat kegembiraan dan makna tertentu yang akan Anda raih dalam kehidupan, hanya jika Anda menghabiskan puluhan tahun membina satu hubungan tunggal, satu karya tunggal, satu karier tunggal atau satu pasangan romantis.

4. Paradoks Rasa Sakit

Banyak orang menghindari rasa sakit. Mereka takut akan rasa sakit. Berbagai cara dilakukan untuk menghindari rasa sakit, mulai dari yang masuk akal sampai dengan yang mistik.

Padahal, rasa takut akan rasa sakit adalah rasa sakit itu sendiri. Usaha untuk menghindari rasa sakit akan menghasilkan rasa sakit itu sendiri.

Ketika orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, maka rasa sakit itu semakin bertambah. Ini adalah sinyal lain dari paradoks penderitaan.

Semakin takut diri Anda untuk menderita, semakin menderita diri Anda. Maka hidup bukan tentang menghindari rasa sakit dan penderitaan, melainkan tentang kemampuan kita untuk menderita dengan benar.

Sebenarnya masih ada begitu banyak paradoks yang terjadi dalam kehidupan kita. Tapi tulisan ini akan sangat membosankan jika membahas semuanya satu per satu. Dan itu tidak mungkin untuk dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun