Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengatasi Ketidakpastian Pandemi dan Vaksin

19 Januari 2021   10:55 Diperbarui: 21 Januari 2021   02:30 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita hanya tidak tahu apa-apa | Ilustrasi oleh Anemone123 via Pixabay

Selama pandemi ini, kita dihadapkan pada dua masalah super besar dan kompleks. Yang pertama adalah virus yang menyapu populasi global dan upaya kita untuk mengatasinya. Yang kedua adalah ekonomi global yang sedang merosot.

Kedua masalah ini sangat sulit untuk diukur dan dipahami, apalagi diprediksi. Keduanya begitu kompleks sehingga kita kesulitan untuk memahaminya secara keseluruhan. Dan sejauh ini, hampir semua yang kita pikirkan hanyalah salah satunya.

Kemunculan vaksin COVID-19 bagaikan angin segar di Padang Sahara. Namun sayang, duri-duri kaktus itu ikut terbawa dan menusuk pemikiran setiap orang.

Berbagai kontroversi terkait vaksin COVID-19 muncul yang membuat banyak orang semakin resah. Apalagi setiap orang wajib divaksin (katanya). Sebagian setuju, sebagian menganggap pelanggaran HAM. Sebagian menyebut ini aman dan halal, sebagian menyebut ini berbahaya.

Memang selalu ada sisi yang berseberangan dalam hal apa pun. Jika Anda memerhatikan, ini menjadi ladang keuntungan besar bagi industri media. Namun, keuntungan itu juga yang membuat masyarakat semakin bingung karena informasi yang satu dengan yang lain sering bertentangan.

Akhirnya, informasi negatif tentang vaksin semakin banyak disebarkan orang-orang. Karena dengan begitu, mereka merasa telah menjadi pahlawan untuk yang lain dengan memberi peringatan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pasti.

Saya tidak membela siapa pun. Semua bisa saja salah. Kita masih belum tahu secara pasti apa dampak jangka panjang dari pandemi ini. Kita tidak tahu apakah vaksin dapat menghentikan pandemi. Kita juga tidak tahu tentang bencana lain yang mungkin terjadi.

Belakangan ini, kabar duka menggema dari berbagai arah. Berbagai peristiwa bencana terjadi di beberapa daerah. Kita bahkan tidak tahu apakah semuanya akan menjadi lebih baik atau lebih buruk.

Kita hanya tidak tahu apa-apa. Tapi itulah jawabannya: hidup adalah tentang tidak mengetahui. Hidup memang penuh ketidakpastian. Dan segala sesuatunya pasti menuntut trade-off.

Saya sedikit analogikan.

Apakah etis membiarkan satu orang mati untuk menjamin satu juta orang hidup tidak dalam kemiskinan yang menyiksa? Bagaimana dengan membiarkan satu orang mati untuk menjamin satu juta orang berubah dari merasa biasa saja dalam hidup menjadi sangat bahagia dan sehat?

Bagaimana dengan seribu orang? Sepuluh orang? Bagaimana jika orang dikorbankan itu sudah tua dan sudah sakit? Atau seorang perampok? Bagaimana jika mereka dipilih secara acak?

Apakah semua itu etis? Apakah semua itu pantas?

Pada dasarnya, tidak jawaban yang benar untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Trade-off antara kualitas hidup dan kehidupan itu sendiri tampak samar-samar. 

Namun, kita semua memiliki intuisi yang kuat tentang apa yang terasa benar dan salah. Kita semua memiliki ambang batas di mana kita merasa nyaman melakukan pertukaran tertentu antara kesejahteraan dan kehidupan itu sendiri. Tetapi, kita jarang memikirkan ambang itu karena pertanyaan itu sangat tidak nyaman dan menjengkelkan untuk dipikirkan.

Dan jika Anda memikirkannya, teka-teki etis tadi merupakan inti dari pertanyaan kebijakan politik dan ekonomi yang paling diperdebatkan.

Ketika pemerintah memutuskan untuk membangun kembali perekonomian, apakah itu etis dengan mengorbankan ratusan atau bahkan ribuan nyawa untuk meningkatkan kesejahteraan hidup ratusan juta orang? Apakah kita bersedia menerapkan kebijakan yang akan merusak kehidupan beberapa orang untuk meningkatkan kehidupan banyak orang?

Apakah penting siapa yang sedikit? Apakah penting siapa yang banyak itu?

Dalam kasus pandemi ini, bagi banyak orang tampaknya ada pertukaran yang jelas antara stabilitas ekonomi dan nyawa, katakanlah, beberapa juta. Satu kubu rela mengorbankan hidup untuk kehidupan yang lebih besar. Yang lain ingin HAM ditegakkan.

Dan industri media memang telah disiapkan untuk memanfaatkan skandal seperti ini. Tidak aneh kita menemukan headline "Kontroversi antara A dan B". 

Oleh karena itu, orang-orang di satu sisi sangat kebingungan ketika mereka dibombardir dengan studi, fakta, dan data tertentu yang tampaknya bertentangan. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada studi, fakta, dan data yang tampaknya membenarkan paradigma mereka.

Masalah terbesarnya, mengembalikan situasi seperti semula tak semudah mengembalikan baju yang tidak pas ke toko. Kita tidak bisa masuk dan berkata, "Maaf, saya keliru dalam memilih dan saya ingin uang kembali."

Perekonomian sedang kacau. Kesehatan masyarakat kacau. Kita tidak tahu sejauh mana semua ini akan menusuk. Dan jangan lupa tentang bencana-bencana lain yang datang tanpa diduga. Kita tidak tahu dengan pasti sejauh mana semua masalah ini saling terkait.

Kita kebanyakan buta di sini. Dan bahkan jika kita bisa melihat trade-off dengan jelas, kita tetap akan berdebat tentang apa yang etis dan pantas. Dan apa yang saya lakukan dalam menghadapi semua ini? Skenario terburuk; saya selalu memikirkannya.

Dalam berbagai kemungkinan yang terjadi dalam hidup, saya selalu mengasumsikan skenario terburuk. Saya berasumsi bahwa tidak ada apa pun, baik virus atau kemerosotan ekonomi, yang akan terselesaikan dalam waktu dekat.

Dengan begitu, saya lebih siap menghadapi semua skenario yang mungkin terjadi. Dan jika segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan lebih cepat dari yang saya pikirkan, itu semakin baik.

Saya tidak menolak vaksin. Apa pun risikonya, itu di luar kendali saya. Dan segala sesuatunya pasti sudah terencana oleh-Nya.

Jika saya sakit atau bahkan meninggal sesaat setelah divaksin, bukan vaksin penyebab sesungguhnya. Itu hanya ilusi. Segala sesuatu terjadi memang karena seharusnya terjadi. Barangkali, memang sudah waktunya saya pulang.

Saya tahu pernyataan saya di akhir ini sangat konyol. Tapi itulah hidup; kemungkinan-kemungkinan itu tak terbatas. Apa pun yang terjadi, itu bukan bagian dari dadu yang dimainkan Tuhan. Tuhan tidak sedang bermain dadu!

Ini terdengar seperti sebuah pemandangan fatalisme. Tidak, ini adalah bentuk paripurna dalam menjalani hidup. Kita muncul dengan misterius dan lenyap dengan misterius pula.

Jika saya bisa melakukan sesuatu, saya akan melakukannya dengan usaha yang terbaik. Tapi saya pun tahu, itu bukan berarti apa-apa.

Seseorang berkata pada saya, "Jika Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini hanya untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, pastilah Dia sangat egois. 

Sungguh menyeramkan. Pasti ada tujuan yang lebih besar. Dan sepanjang hidup, kita dapat memikirkannya. Semakin kamu mendalami dan memikirkan semua ini, niscaya semakin dekat jawaban itu padamu. Segala sesuatu adalah tanda kebesaran-Nya bagi mereka yang berpikir."

Karena Dia adalah pencipta saya, maka saya rela menerima apa pun yang diberikan-Nya; sekali pun itu kematian. Mereka yang takut mati hanya mereka yang tak memahami hakikat hidup dan menjalaninya dengan sembarang.

Kedekatan seseorang dengan Sang Pencipta membuat kebahagiaan tak mudah direbut darinya. Seorang teman saya membuktikan itu.

Ketika dia sedang berjemur sinar matahari di pagi hari, saya berdiri di depannya dan berkata, "Kamu seperti sedang tak punya uang. Haruskah aku sedikit membantumu?"

"Ya," katanya, "Bergeserlah ke samping. Kau menghalangi sinar matahari."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun