Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

New Normal, Kenormalan yang "Dipaksakan"?

30 Mei 2020   17:46 Diperbarui: 30 Mei 2020   17:42 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini kita sedang dihebohkan dengan suatu kebijakan yang katanya "solusi" untuk menyelamatkan bangsa di tengah pandemi COVID-19. Saya, (mungkin) Anda, dan mereka menyebutnya dengan istilah 'New Normal' (atau apapun istilah yang Anda kenal, intinya itu maksud saya).

Ketika saya sedang menonton TV, lebih tepatnya mencari acara kartun, secara tak sengaja saya menemukan berita tentang New Normal. Ya, seketika itu pun saya penasaran dan mencari berita lainnya di internet. Kemudian menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton "diskusi" mengenai New Normal di Youtube. Dan kesimpulannya dari diskusi itu: tak ada solusi, hanya adu argumen (oh sial, 3 jam umur saya habis hanya untuk menonton orang-orang beradu argumen dan melempar emosi). Tapi hal baiknya, itu meransang saya untuk menulis tulisan ini.

PERINGATAN: Tulisan ini---mungkin---tidak mengandung solusi (juga), tapi bukan juga "polusi".

SPOILER: Tulisan ini---mungkin---akan menghabiskan umur Anda beberapa menit secara sia-sia.

Pertama, kita harus tahu dulu apa itu 'New Normal'. 'New Normal' adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19.

Hal yang perlu kita pahami sebagai masyarakat---supaya tidak selalu "membully" pemerintah---adalah adanya kedilemaan dari pemerintah. Intinya, dilema untuk menyelamatkan seluruh masyarakat dari kematian: mati karena virus atau mati karena kelaparan.

Dan kesimpulan pertama kita adalah pentingnya menyelamatkan perekonomian dan kesehatan negara. Sialnya, kita harus mengorbankan salah satunya untuk menyelamatkan hal lain (atau tidak perlu memilih jika pandemi sudah berakhir). Dan dalam keadaan seperti ini, saya suka untuk menyebutnya dengan istilah trade-off.

Saya coba menggunakan perumpamaan agar lebih mudah. Ketika ibu Anda dan anak Anda sedang dalam bahaya, siapa yang akan Anda selamatkan terlebih dahulu? Pertanyaan serupa---tapi tak sama---dihadapi pemerintah saat ini. Menyelamatkan masyarakat dari paparan COVID-19 atau menyelamatkan perekonomian negara? Dan untuk menjawab pertanyaan ini, pastinya pemerintah harus mempunyai berbagai pertimbangan, nilai standar, dan berbagai indikator dari segala sudut pandang.

Hey tunggu, saya sudah menulis---sampai dengan kata 'ini'---316 kata dan saya hanya baru menyampaikan mukadimah. Mari kita analisis lebih dalam (semoga saya mampu melakukannya).

Pertimbangan 1

Pertimbangan (pilihan) pertama pemerintah ialah menyelamatkan masyarakat dari paparan COVID-19. Dengan kata lain, pemberlakuan PSBB semakin diperketat. Harapannya, tentu, pandemi ini bisa cepat berakhir---atau tepatnya lebih dekat untuk berakhir---dan kegiatan sehari-hari dari masyarakat dapat dilakukan seperti sedia kala. Sayangnya---mungkin---itu akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Pastinya, selama itu pula mobilitas masyarakat akan menjadi kaku sehingga perekonomian negara bisa membengkak.

Kabar baiknya, pemerintah akan mampu mengurangi jumlah korban meninggal akibat paparan COVID-19. Dan---tidak lupa---kabar buruknya, masalah "perut" dari masyarakat semakin menjadi dan menggila. Dan siapa yang tahu, bahwa akan ada banyak korban jiwa karena kelaparan (atau karena stres, depresi, dll). Dan sialnya kita tidak tahu angka pasti dari perbandingan jumlah korban virus dengan korban "perut". Andaikan kita mengetahuinya, tak akan ada lagi yang protes terhadap kebijakan yang diambil pemerintah. Tapi inilah kehidupan dunia (yang penuh misteri).

Pertimbangan 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun