Padang -- Dalam langkah progresif menjaga fleksibilitas pengelolaan aset wakaf, Perwakilan Badan Wakaf Indonesia (BWI) Provinsi Sumatera Barat di bawah kepemimpinan H. Yufrizal, S.Ag. M.H.I, kembali mengedukasi masyarakat tentang mekanisme perubahan peruntukan harta benda wakaf. Kabar baik ini menjadi angin segar bagi para nazhir yang ingin mengoptimalkan fungsi wakaf sesuai perkembangan zaman. (Jumat, 17/10/2025).
Perubahan peruntukan harta wakaf, menurut penjelasan BWI Sumbar, bukanlah hal yang mustahil. Justru, regulasi membuka ruang bagi nazhir untuk mengalihkan fungsi atau penggunaan harta wakaf dari tujuan awal ke tujuan lain yang lebih bermanfaat. Namun, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi: perubahan ini tidak boleh mengubah statusnya sebagai harta wakaf.
"Bagaimana caranya?" mungkin menjadi pertanyaan yang bergema di benak para pengelola wakaf. BWI Sumbar dengan gamblang menjelaskan bahwa izin tertulis dari BWI menjadi kunci utama. Tanpa izin resmi ini, perubahan peruntukan tidak dapat dilakukan, sesuai dengan amanat Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Peruntukan Harta Benda Wakaf.
Landasan hukum yang kuat ini memberikan dua alasan fundamental mengapa perubahan peruntukan bisa diajukan. Pertama, harta benda wakaf tersebut ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam Akta Ikrar Wakaf. Kedua, harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan keagamaan dan kemaslahatan umat yang lebih bermanfaat dan/atau lebih produktif.
Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nazhir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari BWI. Ketegasan aturan ini bertujuan menjaga kesucian dan keberlanjutan fungsi wakaf untuk kemaslahatan umat. H. Yufrizal menekankan pentingnya kepatuhan terhadap regulasi demi menjaga kepercayaan publik.
Lantas, dokumen apa saja yang harus disiapkan para nazhir yang ingin mengajukan permohonan? BWI Sumbar merinci persyaratan lengkap yang mencakup fotokopi AIW/APAIW, fotokopi Sertifikat Wakaf, fotokopi Surat Pengesahan Nazhir, hingga surat permohonan perubahan peruntukan yang ditandatangani oleh Nazhir.
Yang menarik, proses pengajuan ini melibatkan jalur birokrasi berjenjang yang terstruktur. Surat pengantar atau permohonan dari Kepala KUA Kecamatan perihal permohonan perubahan peruntukan harta benda wakaf kepada Ketua BWI menjadi salah satu dokumen vital. Tidak berhenti di situ, rekomendasi BWI Perwakilan Kabupaten/Kota setempat juga menjadi prasyarat penting.
Menariknya, BWI memberikan catatan khusus untuk wilayah yang belum memiliki perwakilan di tingkat kabupaten/kota. Dalam kondisi demikian, rekomendasi BWI Perwakilan tidak diperlukan, memberikan kemudahan akses bagi seluruh nazhir di Sumatera Barat. Bahkan, rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota setempat turut menjadi pelengkap berkas yang harus dilampirkan.
Prosedur yang dijabarkan BWI Sumbar terdiri dari tiga tahap strategis. Dimulai dari pengajuan permohonan perubahan peruntukan oleh nazhir melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan dengan menjelaskan alasan perubahan terhadap harta benda wakaf. Dilanjutkan dengan penerusan permohonan oleh Kepala KUA Kecamatan kepada Ketua Badan Wakaf Indonesia.
Puncaknya, setelah BWI menerima permohonan, akan dilakukan peninjauan lapangan secara langsung. Badan Wakaf Indonesia kemudian mengkaji dan meminta rekomendasi dari Perwakilan BWI setempat. Jika semua persyaratan terpenuhi dan dinilai layak, BWI dapat melaksanakan peninjauan lapangan langsung untuk memastikan perubahan peruntukan tersebut benar-benar memberikan manfaat optimal bagi kemaslahatan umat.