Rasanya jalanan di Depok semakin lama semakin macet saja. Bahkan jauh lebih macet dari daerah Pasar Rebo, atau Fatmawati.Â
Depok harus memilih jati dirinya sendiri yang bukan merupakan semua kecemburuan atau impian setelah melihat kota besar lainnya di muka bumi ini.Â
Tapi terlahir dari sebuah pemikiran dan kemengan sebuah politik yang tidak hanya digunakan untuk merain suara terbanyak dalam pemilihan, tetapi juga politik yang menyeluruh terhadap dunia pendidikan, terhadap pekerja seni, dan terhadap seluruh penduduk kaum urban di kota ini, baik yang menetap atau yang sudah berpuluh-puluh tahun.
Jika Margonda di rubah menjadi Sudirman, mungkin akan ada banyak bagian wilayah di kota ini yang lumpuh. Lumpuh dalam artian sudah tidak lagi menarik, dan mungkin lambat tahun akan menjadi sarang begal seperti beberapa tahun lalu.Â
Sudah cukup kiranya Depok dikenal dengan babi ngepet, keranda terbang, pocong keliling, alien, atau konspirasi macem-macem.Â
Depok memiliki banyak potensi yang unik, selagi seluruh penduduknya dan pemangku kekuasaan di daerah itu sadar bahwa Depok bukanlah Sudirman di Jakarta, dan kota ini tidak akan mencontoh siapa-siapa karena Depok harus punya teorinya sendiri tentang sebuah kemajuan yang menterang, mewah, dan elegan.