Abuya Kadu kaweng. begitulah kami orang kulon (Banten) biasa menyebut KH.Sanja yang terkenal akan Ilmu Nahwu sharafnya itu. apa itu Ilmu Nahwu Sharaf? ilmu tata bahasa arab yang menjadi kunci utama agar bisa memahami teks-teks bahasa arab yg tidak berharokat/kitab gundul yang biasa dikaji para santri di pesantren. dengan menguasai nahwu Sharaf makna yang terkandung didalam setiap kata akan mudah dipahami.
Di zaman Rasulullah SAW. ilmu ini digagas pertama kali oleh Khalifah ke empat yakni Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. diteruskan oleh para ulama yg diberikan keluasan ilmu dan pengetahuan oleh Allah SWT sehingga sampai kepada kita, pemahaman akan risalah yang dibawa Rasulullah masih dapat ditanyakan ke beliau ketika beliau masih hidup, tentunya sepeninggal beliau pemahaman akan alquran dan hadits harus perlu penjagaan pemahaman melalui kaidah-kaidah bahasa Arab.
Abuya Sanja adalah Sosok yang sangat sederhana tapi mampu melahirkan ratusan Ulama yang menjadi garda terdepan dalam melanjutkan perjuangan Dakwahnya. terkhusus di tanah Banten.
Mama Sanja sang Raja Alfiyah ini lahir dari pasangan H.Kasmin bin Ki Adil dan ibunya bernama H.Elas di Desa Cigintung, Pandeglang, Banten  pada tahun 1917 M. Setelah menikah beliau tinggal di kampung isterinya di Kadu Buluh yang jaraknya tak lebih dari 500 meteran ke arah selatan Kadu Kaweng, dan dikaruniai seorang putra bernama KH. Encep Fathoni (alm). Sepeninggal istri pertama, beliau menikah lagi membuka lahan kosong yang asalnya Kampung Babakan (tidak berpenghuni) yang seterusnya di sebut Kadukaweng, nama pesantrennya Riyadlul Alfiyah Seperi yang tertera jelas di papan nama bernama "Pesantren Islam Riyadlul Alfiyah Kadukaweng" disingkat PIRAK.
Penamaan ini disesuaikan dengan kekhususan pelajaran yang dikaji di pesantren ini yaitu kitab Alfiah. kitab yang membahas tentang ilmu alat gramatikal bahasa Arab karangan dari Syaikh Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik yang gelaran masyhurnya adalah Ibnu Malik. Adapun arti nama Riyadl adalah taman, orang Sunda menyebutnya 'kebon/kebun" dan sesuai dengan tempat yang baru dibuka yaitu 'ngababakan' karena asal tempat itu berupa (tempat yang belum berpenghuni di kelilingi banyak sawah) setelah sepeninggal istri pertamanya bermukim di Kadubuluh.
Selain kitab Alfiyah yang di Muhith secara periodik, bila tamat maka kembali dari awal. begitu seterusnya tiada henti yang dikaji dan di ajarkan tiap harinya. Banyak juga fan (disiplin) ilmu yang diajarkan di pesantren ini. diantaranya fan ilmu mantiq yaitu sebuah cabang ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara berpikir yang tepat sehingga melahirkan kesimpulan yang tepat pula.
Di Pesantren ini keistimewaannya dalam pengajaran isi kitab Alfiyah, Abuya Sanja menggunakan Syarah kitab Alfiyah dari kitab Alfiyah Maimuniyah. Isi yang terkandung didalam Alfiyah Maimuniyah ini mencakup berbagai disiplin ilmu, mulai dari fan tauhid, fan fikih dan bidang tasawuf, juga didalamnya banyak mengandung ilmu hikam, kata-kata mutiara penuh sayangnya .. kitab ini sedari tahun 1990 telah hilang, dipinjam seseorang dan tidak pernah kembali.
Di pesantren ini juga para santri diajarkan berbagai jenis ilmu bela diri. diantaranya jenis sera Cimande, Cikalong dan berbagai ilmu kanuragan yang lainnya. orang Pandeglang biasa menyebutnya kaulinan. dengan kaulinan ini kelak bisa di aplikasikan di keseharian selain sebagai pelatihan santri untuk berjiwa sehat jaani. karena pada prinsipnya santri tak cukup hanya bisa mengaji, tapi juga harus bisa ilmu beladiri.
Mama Sanja memegang teguh prinsip kesahajaan dan tawadhu adalah sifatnya yang paling menonjol. Walau beliau dikenal banyak memiliki kekayaan, tetapi hidupnya begitu sederhana. Disela-sela kesibukan mengajar ngaji para santri, beliau selalu menyempatkan diri pergi ke sawah untuk mencangkul. Sawahnya luas membentang dari ujung ke ujung. karena Saking luas dan banyak sawah kepunyaannya, menurut kabar beliau sudah tidak diperkenankan lagi membeli sawah oleh pemerintah atas nama dirinya, karena sawahnya telah berjumlah ratusan hektar.
Adapun sebutan akrab untuk beliau adalah Mama yang memiliki arti salah satu gelar orang yang mumpuni dalam keilmuan terutama bidang agama. namun sang raja Alfiah ini enggan disebut Mama, beliau hanya ingin disebut  'Akang' (kakak) dalam bahasa sunda.