Mohon tunggu...
Muhamad Rizki Fadil
Muhamad Rizki Fadil Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Pendidikan Sosiologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya mahasiswa semester 3 Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Biaya dan Ganjaran di Balik Layar: Membongkar Fenomena Joki Akademik Dengan Teori Pertukaran Sosial

20 Oktober 2025   13:41 Diperbarui: 20 Oktober 2025   13:41 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika Integritas Tersandera Nilai

Kita semua pasti mengenal istilah "joki" bukan? Di Tanah Air kita, kata ini sudah jauh melampaui arena pacuan kuda. Hari ini, ia menjelma menjadi sebuah gejala sosial yang begitu akrab, menyusup ke hampir setiap celah kehidupan, terutama di lingkungan kampus. Ada joki tugas, joki makalah, joki skripsi, bahkan ada yang berani menawarkan jasa untuk menggantikan kita dalam ujian. Singkatnya, praktik curang ini kini dianggap sebagai "jalan pintas" yang entah mengapa terasa begitu biasa.

Sesungguhnya, masalah ini terlalu besar untuk hanya ditimpakan pada bahu mahasiswa yang kelelahan, tertekan persaingan, atau yang sekadar ingin mencari mudah. Ini adalah cermin yang memantulkan keretakan dalam sistem pendidikan kita sendiri. Tekanan akademik yang tinggi seringkali berbenturan dengan tuntutan ekonomi, di mana banyak mahasiswa kini harus bekerja paruh waktu atau aktif berorganisasi untuk menunjang soft skill atau biaya hidup. Kita terlalu jatuh cinta pada angka, pada selembar ijazah, sehingga melupakan inti terdalam dari belajar: proses yang jujur, integritas yang utuh, dan substansi keilmuan. Lihat saja di lini masa media sosial, jasa-jasa ini bertebaran tanpa malu, lengkap dengan daftar harga dan testimoni yang seolah merayakan kecurangan. Inilah potret yang menyesakkan ketika kepandaian dan kompetensi sejati diabaikan, dan gelar sarjana kita yang seharusnya menjadi mahkota jerih payah berubah menjadi stempel formalitas belaka.

Mengapa praktik ini begitu subur? Untuk menjawabnya, kita perlu menanggalkan kacamata moralis sesaat dan mencoba memahami dinamika sosial di baliknya. Sosiologi menawarkan alat analisis yang tajam: Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

Pertukaran Sosial Menurut George C. Homans

Dalam kerangka Teori Pertukaran Sosial, George Homans menetapkan prinsip fundamental yang ia sebut 'Keadilan Distributif' Prinsip ini pada dasarnya adalah sebuah aturan main imbalan yang diterima oleh seseorang dalam interaksi sosial harus sepadan dengan 'investasi' atau 'pengorbanan' yang telah ia keluarkan. Homans secara tegas menyatakan, setiap individu dalam hubungan pertukaran akan mengharapkan bahwa makin tinggi pengorbanan yang dikeluarkan, makin tinggi pula imbalan yang seharusnya diterima. Intinya, jika kita menginvestasikan usaha, waktu, dan energi yang besar, maka kita berhak atas reward dan keuntungan yang setimpal. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak seharusnya ada pihak yang menerima hasil besar tanpa mengeluarkan biaya yang proporsional George C. Homans berpandangan bahwa praktik joki, adalah semacam transaksi ekonomi yang didasarkan pada perhitungan biaya (cost) dan ganjaran (rewards). Seseorang akan terlibat dalam suatu hubungan atau interaksi sosial jika ia memperkirakan keuntungan yang didapat akan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Harga Diri dan Kualitas Bangsa

Analisis pertukaran sosial menunjukkan bahwa fenomena joki adalah hasil dari pilihan rasional yang dipertimbangkan secara individual, di mana kedua belah pihak merasa diuntungkan. Namun, inilah letak ironinya: keuntungan individu ini justru menghasilkan biaya sosial yang sangat mahal bagi bangsa.

  • Normalisasi Kecurangan: Ketika banyak mahasiswa menggunakan jasa joki, tindakan ini menjadi norma sosial baru, atau dianggap "sosial yang dapat diterima". Akibatnya, biaya non-finansial (seperti rasa malu, atau penolakan dari teman sebaya) menjadi berkurang, sehingga memudahkan mahasiswa lain untuk ikut terlibat).
  •  Praktik joki secara langsung berkontribusi pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Joki menghasilkan lulusan yang secara formal bergelar, tetapi secara substansial kosong dari kompetensi yang seharusnya mereka miliki.
  • Pergeseran Nilai, pendidikan bergeser menjadi sebuah komoditas yang dapat diperdagangkan, dan bukan lagi berorientasi pada pembangunan karakter dan ilmu pengetahuan. Tindakan ini merusak nilai-nilai budaya akademik yang menjunjung tinggi etika dan integritas.

Membangun Struktur Pertukaran yang Berintegritas

Fenomena joki adalah simalakama yang berakar pada ketidakseimbangan antara tuntutan akademik, tekanan ekonomi, dan lemahnya integritas. Untuk mengatasinya, kita tidak bisa hanya menyalahkan individu. Kita perlu mengubah struktur pertukaran sosial ini agar biaya integritas menjadi lebih rendah dan ganjaran kejujuran menjadi lebih tinggi.

Untuk lembaga pendidikan, perubahan fundamental perlu dilakukan pada sistem penilaian. Kurangi fokus pada tugas tertulis yang mudah dijokikan. Perbanyak ujian lisan, studi kasus autentik, atau proyek berbasis praktik yang menuntut kehadiran, orisinalitas, dan pemahaman mendalam. Pengawasan harus diperketat, dan sanksi tegas bagi pelaku joki harus diterapkan tanpa pandang bulu. Untuk mahasiswa dan pelajar, kesadaran harus ditanamkan sejak dini pendidikan bukanlah nilai di atas kertas, tetapi ilmu dan keterampilan yang melekat pada diri Anda. Jangan pernah menukar integritas diri Anda dengan kemudahan sesaat. Pahami bahwa biaya terbesar menggunakan joki adalah hilangnya potensi diri Anda sendiri. Selain itu, upaya pemberdayaan ekonomi kreatif harus didorong agar para individu cerdas yang kini berprofesi sebagai joki dapat menyalurkan keahliannya ke jalur yang benar dan etis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun