Hukum di Indonesia seharusnya menjadi benteng utama untuk menegakkan keadilan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap negara. Sayangnya, kenyataan yang terjadi jauh dari harapan. Hukum kerap kali berubah menjadi alat pelindung bagi kelompok tertentu, terutama mereka yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi. Baru-baru ini, publik dikejutkan dengan kasus korupsi besar yang melibatkan eksekutif anak perusahaan Pertamina yang diduga merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun dalam pengadaan minyak mentah dan kilang selama periode 2018 sampai 2023. Meski tersangka sudah ditetapkan dan proses hukum tengah berjalan, banyak pihak mempertanyakan apakah hukum benar-benar mampu berjalan adil, terutama saat berhadapan dengan elit di badan usaha milik negara tersebut.
Kasus ini mengingatkan kita pada kenyataan pahit bahwa hukum di Indonesia sering kali tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Rakyat kecil dihukum berat atas pelanggaran kecil, sementara pejabat dan korporasi besar sering mendapatkan perlakuan berbeda yang menguntungkan mereka. Ketimpangan ini bukan sekadar soal kasus korupsi, melainkan juga tercermin dalam penggunaan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal-pasal tersebut kerap disalahgunakan untuk membungkam suara kritis, terutama dari aktivis dan jurnalis, sementara kasus besar yang melibatkan pejabat atau korporasi justru berujung pada vonis ringan atau tertunda tanpa kejelasan.
Di sisi lain, wacana revisi undang-undang Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menimbulkan kekhawatiran serius. Revisi ini berpotensi memberikan kewenangan berlebihan kepada jaksa dan melemahkan fungsi pengawasan, sehingga bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Jika dibiarkan, kondisi ini akan semakin memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia.
Kita tidak bisa lagi membiarkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum terus menurun. Reformasi hukum yang sesungguhnya harus lebih dari sekadar revisi undang-undang. Yang dibutuhkan adalah pembenahan integritas lembaga penegak hukum dan transparansi dalam setiap proses penegakan hukum. Hukum harus memastikan bahwa setiap warga negara diperlakukan sama tanpa memandang status sosial, politik, atau ekonomi. Tanpa keberpihakan yang nyata pada keadilan, hukum hanya akan menjadi formalitas yang menguntungkan mereka yang kuat dan merugikan mereka yang lemah.
Indonesia membutuhkan hukum yang hidup, berfungsi, dan mampu menjadi pelindung hak setiap warga, bukan sekadar simbol kosong yang kehilangan makna. Karena hanya dengan sistem hukum yang adil dan transparan, Indonesia dapat membangun masa depan yang benar-benar berkeadilan bagi seluruh rakyatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI