Mohon tunggu...
Muhamad Khoerul Umam
Muhamad Khoerul Umam Mohon Tunggu... Pemerhati Hukum Tata Negara

Pemerhati hukum tata negara yang berstatus sebagai relawan (kadang-kadang rela, kadang-kadang melawan). Concern pada isu-isu yang berkaitan dengan konstitusi, politik, hukum, kebijakan publik, demokrasi dan isu-isu sosial lainnya yang bisa membawa pada kemerdekaan dan kebebasan berekspresi, minimal untuk diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menimbang RUU TNI: Antara Reformasi Militer atau Ancaman Demokrasi

30 Maret 2025   11:36 Diperbarui: 30 Maret 2025   11:36 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang baru-baru ini diajukan menjadi perdebatan hangat di tengah masyarakat. Sebagian pihak menganggapnya sebagai langkah maju dalam memperkuat pertahanan negara, sementara yang lain mengkhawatirkan dampaknya terhadap keseimbangan antara supremasi sipil dan peran militer dalam kehidupan bernegara. Dalam sistem demokrasi yang terus berkembang, setiap kebijakan yang menyangkut institusi militer perlu dianalisis secara mendalam agar tidak memunculkan konsekuensi yang merugikan di masa depan.

Sejarah telah menunjukkan bahwa hubungan antara militer dan sipil selalu menjadi aspek krusial dalam membangun stabilitas sebuah negara. Prinsip utama dalam demokrasi modern adalah menempatkan militer sebagai alat pertahanan yang profesional dan tidak terlibat dalam urusan pemerintahan. Oleh sebab itu, revisi terhadap RUU TNI harus dikaji dengan cermat untuk memastikan bahwa peran dan fungsi TNI tetap sesuai dengan semangat reformasi yang telah lama diperjuangkan.

Eksistensi Militer dalam Jabatan Sipil: Memperkuat Sinergi atau Melemahkan Meritokrasi?

Salah satu poin kontroversial dalam revisi RUU TNI adalah diperluasnya cakupan jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira aktif. Jika sebelumnya hanya sepuluh lembaga yang diperbolehkan menerima personel militer aktif, kini jumlahnya meningkat menjadi lima belas, termasuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kejaksaan Agung.

Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa latar belakang militer membawa disiplin, loyalitas, serta kepemimpinan yang kuat, yang dapat mempercepat reformasi birokrasi dan meningkatkan efektivitas kerja pemerintah. Namun, di sisi lain, para kritikus mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa mengancam prinsip meritokrasi, di mana pengisian jabatan seharusnya didasarkan pada kompetensi dan pengalaman dalam bidang terkait, bukan sekadar latar belakang militer.

Di banyak negara yang tengah berupaya memperkuat demokrasi, dominasi militer dalam sektor sipil sering kali dianggap sebagai penghambat bagi tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Jika tidak diatur dengan baik, keterlibatan TNI dalam birokrasi sipil dapat menghambat upaya reformasi administrasi yang telah lama diperjuangkan. Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain bahwa supremasi sipil adalah fondasi utama bagi keberlangsungan sistem demokrasi yang sehat.

TNI dan Keamanan Siber: Antara Proteksi dan Ancaman Kebebasan Digital

Dalam era digital, ancaman siber menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan. Salah satu poin penting dalam revisi RUU TNI adalah peningkatan peran militer dalam menangani serangan siber yang berpotensi mengganggu keamanan nasional. Di satu sisi, keterlibatan TNI dalam menjaga infrastruktur digital negara dapat memperkuat ketahanan nasional. Namun, di sisi lain, perluasan kewenangan ini juga menimbulkan kekhawatiran terkait kebebasan digital dan hak privasi masyarakat.

Sejumlah negara telah menggunakan alasan keamanan siber untuk meningkatkan kontrol terhadap ruang digital, yang pada akhirnya berdampak pada pembatasan kebebasan berpendapat dan mempersempit ruang gerak masyarakat sipil. Tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, kebijakan ini dapat dimanfaatkan untuk mengontrol informasi publik, membatasi kebebasan pers, atau bahkan membungkam kritik terhadap pemerintah.

Untuk menghindari dampak negatif tersebut, kebijakan ini perlu memiliki batasan yang jelas. TNI seharusnya tetap berfokus pada ancaman eksternal dan tidak terlibat dalam pengawasan terhadap aktivitas digital warga negara. Transparansi dalam pelaksanaan kebijakan ini sangat penting agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

RUU TNI bukan hanya menjadi perhatian dalam negeri, tetapi juga diamati oleh komunitas internasional. Beberapa media asing, seperti The Australian, telah menyoroti bahwa perubahan ini dapat mencerminkan melemahnya demokrasi di Indonesia. Organisasi hak asasi manusia juga menyatakan kekhawatiran mereka bahwa semakin luasnya peran militer dalam pemerintahan dapat mengurangi transparansi serta akuntabilitas tata kelola negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun