Istilah efisiensi kerap dianggap sebagai kata sakti dalam diskursus pembangunan, ekonomi, hingga kebijakan publik. Dalam logika dominan, efisiensi dimaknai sebagai kemampuan untuk menghasilkan output maksimal dengan input minimal. Pemerintah, korporasi, bahkan lembaga pendidikan berlomba-lomba menunjukkan capaian efisiensi sebagai indikator keberhasilan. Namun, di balik kata yang terdengar teknokratik dan netral ini, terselip pertanyaan mendasar: efisiensi untuk siapa?
Dalam praktiknya, efisiensi sering kali digunakan sebagai dalih untuk memangkas anggaran sosial, menyederhanakan prosedur partisipatif, hingga merasionalisasi eksploitasi sumber daya alam. Hasilnya adalah pembangunan yang serba cepat, murah, dan 'efisien' --- tetapi dengan mengorbankan komunitas lokal, pekerja, dan lingkungan hidup.
Efisiensi yang Mengabaikan Konteks Sosial dan Ekologis
Salah satu bentuk paling nyata dari efisiensi yang bermasalah terlihat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur skala besar. Jalan tol, bendungan, hingga kawasan industri kerap dibangun dengan alasan efisiensi konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, proses perencanaan seringkali tidak melibatkan masyarakat terdampak secara utuh. Mekanisme konsultasi publik sekadar formalitas, dan keputusan utama tetap berada di tangan segelintir elite ekonomi dan politik.
Akibatnya, banyak komunitas adat dan warga miskin kota yang terpaksa terusir dari tanahnya tanpa kompensasi layak. Hutan dibabat dalam waktu singkat demi perluasan kebun sawit atau tambang batu bara, dengan iming-iming "efisiensi produksi nasional." Padahal, biaya ekologis dan sosial dari tindakan ini tak pernah benar-benar dihitung.
Ketika Lingkungan Dikorbankan demi Skor Investasi
Logika efisiensi sering bersanding erat dengan kepentingan investasi. Proyek-proyek yang dianggap "tidak efisien" karena memerlukan perlindungan lingkungan tambahan atau proses partisipasi yang panjang sering dianggap menghambat investasi. Maka, demi mempercepat proses, regulasi lingkungan dilonggarkan, izin dipercepat, dan suara masyarakat dibungkam. Di sinilah efisiensi berubah wujud menjadi instrumen kekuasaan: mempercepat yang kuat, menyingkirkan yang lemah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di skala lokal. Banyak kebijakan daerah yang mengklaim ingin mendorong efisiensi pelayanan publik justru berujung pada sentralisasi pengambilan keputusan, mengurangi ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat.
Efisiensi yang Tak Menghitung Nilai Tak Ternilai
Masalah utama dari logika efisiensi adalah kecenderungannya mereduksi segalanya ke dalam angka-angka: biaya, waktu, produktivitas. Namun, tidak semua nilai bisa dikuantifikasi. Bagaimana mengukur nilai dari hutan adat yang telah diwariskan secara turun-temurun? Bagaimana menghitung hilangnya solidaritas komunitas ketika kampung mereka digusur? Bagaimana memperkirakan kerugian jangka panjang dari rusaknya ekosistem pesisir?
Dengan fokus semata pada angka, kebijakan efisiensi menjadi buta terhadap dimensi kultural, sosial, dan ekologis. Akhirnya, keputusan-keputusan besar yang berdampak pada banyak orang dibuat tanpa benar-benar memahami kompleksitas kehidupan nyata.