Mohon tunggu...
Muhamad Iqbal Al Hilal
Muhamad Iqbal Al Hilal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Freelance Writer

Penulis berkonsentrasi pada isu sejarah, politik, sosial ,ekonomi, hiburan dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini: Berjuang untuk Emansipasi, Berkutat Lawan Feodalisme

21 April 2022   12:37 Diperbarui: 21 April 2022   12:49 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Habis Gelap Terbitlah Terang/Foto: Bukukita

(21/04/2022)- Raden Adjeng Kartini nama yang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia karena sudah dikenalkan sejak di bangku sekolah dasar.

Tokoh kharismatik dari Jepara ini, merupakan salah satu kaum priyayi alias keturunan bangsawan yang statusnya lebih tinggi dari masyarakat bawah dan berada dibawah orang Belanda karena pada waktu itu, strata sosial diatur oleh pemerintah kolonial.

Wanita dalam hampir semua peradaban sejarah dunia sering dianggap sebagai budak bagi Laki-laki atau istilahnya statusnya dianggap tidak sejajar dengan Laki-laki. 

Sehingga sampai saat ini, masyarakat di sebagian wilayah pedesaan masih beranggapan bahwa Perempuan hanya diperlukan untuk kegiatan di dapur, di kasur dan di sumur. Istilah ini lebih dikenal sebagai patriarki atau lebih mengutamakan, mengistimewakan Laki-laki jauh lebih baik daripada Perempuan.

Berangkat dari ketiga pekerjaan tadi Laksmana Malahayati,Kartini, Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat, Raden Siti Zenab, Cut Nyak Dien, Cut Mutia dan tokoh perempuan lainnya, sangat ingin agar Perempuan juga setara dengan Laki-laki maka lahirlah kemudian sebuah istilah yang kita kenal hari ini sebagai emansipasi yang artinya penyetaraan Perempuan dengan Laki-laki untuk menuntut persamaan hak-hak yang sebelumnya hanya bisa dicapai oleh Laki-laki.

Dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2 Karangan Sejarawan Sartono Kartodirdjo halaman 96, dijelaskan bahwa Kartini dianggap sebagai pelopor emansipasi meskipun beberapa ratus tahun sebelumnya sudah ada Laksamana Malahayati dan Ratu Kalinyamat dan Ratu Shima. 

Dalam buku ini, disebutkan bahwa R.A Kartini dianggap sebagai pelopor gerakan emansipasi hal ini dapat tergambar jelas dari tulisan-tulisan Kartini yang diterbitkan kemudian menjadi sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang tahun (1911) terutama yang memuat korespondensinya dengan sahabat karib Kartini yang merupakan orang Belanda yaitu Nyonya Abendanon.

Seperti diinterpretasikan oleh Sartono bahwa dalam buku ini digambarkan bahwa kehidupan keluarga dari para Bupati, masih diharuskan untuk taat dan patuh pada segala aturan yang melekat dan turun temurun yang harus dipatuhi tentunya hal ini sangatlah berkaitan dengan feodalisme atau mudahnya diartikan sebagai sebuah kekuasaan khusus yang diberikan kepada penguasa lokal dalam politik maupun sosial masyarakat.

Makam R.A Kartini/Foto: Liputan 6
Makam R.A Kartini/Foto: Liputan 6

Tentunya Kartini yang merupakan putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosro ningrat dan M.A Ngasirah diberikan status sosial yang tinggi sama seperti kedua orang tuanya. 

Kartini pada akhirnya melakukan perlawanan dalam bentuk tulisan-tulisannya tersebut bukan bermaksud melemahkan atau menyinggung Kaum Adam, maksud Kartini ingin semua perempuan di Hindia-Belanda secara khusus di Jepara dan secara umum wilayah Hindia-Belanda.

Sebenarnya dalam agama Islam penyetaraan Perempuan sudah digambarkan secara jelas setelah Islam berhasil meruntuhkan kekuasaan dari kaum kafir Quraisy yang pada masa Jahiliah memperlakukan Perempuan hanya sebagai budak untuk melampiaskan nafsu seksualitas dan lain sebagainya.

Islam secara tegas dalam Alquran menjelaskan mengenai kesetaraan gender

QS. An-Nahl Ayat 97

Artinya: Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Meskipun Alquran secara tegas menjelaskan hal ini bahkan Islam menjadi agama mayoritas sejak sebelum adanya kedatangan Belanda di Banten tahun 1595/1596 banyak yang terus beranggapan bahwa Perempuan hanya berhak untuk Sumur,Kasur dan Dapur. 

Tentunya ini merupakan ironis karena Kartini dan tokoh perempuan lainnya hanya berusaha mengingatkan hal tersebut yang mirisnya oleh sebagian orang yang juga dari kaum Perempuan mengejek hal ini dengan dalih tidak sesuai ajaran Islam.

Padahal sudah jelas Kartini hanya ingin Laki-laki maupun Perempuan dihargai dan disejajarkan atas apapun yang sekiranya bertentangan dengan kehidupan bermasyarakat. 

Warisan feodalisme yang sudah mendarah daging seharusnya dihapuskan dan masyarakat yang masih beranggapan Perempuan jauh daripada Laki-laki harus diberikan edukasi yang baik agar pemikirannya jauh lebih terbuka.

Secara tegas saya lebih setuju terhadap emansipasi ketimbang feminisme yang terkesan arogan dan terlalu memaksa kehendak dan memaksa setara dalam semua hal.

Tanggal 21 April bukan hanya diperingati sebagai hari lahirnya Kartini namun terlepas dari itu merupakan pengingat bahwa emansipasi atau kesetaraan gender di Indonesia perlu semakin digiatkan agar cita-cita dari R.A Kartini dapat terwujud sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun