Mohon tunggu...
Muhamad Ikhsan
Muhamad Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta

:)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Kita Akan Bahagia Tanpa Punya Apa-Apa?

23 September 2025   20:35 Diperbarui: 23 September 2025   20:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gak sekali atau pun dua kali, dunia sering kali dilanda krisis besar. Sepanjang 500 tahun ke belakang, terdapat krisis Tulip Mania (1600-an), Long Depression (1873), Great Depression (1929), Krisis Minyak (1973), Krisis Asia (1997), Krisis Perbankan (2008), hingga COVID-19 (2020). Meskipun punya penyebab yang berbeda-beda, tapi semua krisis punya efek yang serupa, yaitu menciptakan "reset" karena meninggalkan sistem lama dan menciptakan sistem yang baru.

Kalau pada krisis-krisis sebelumnya terjadi "reset" secara alami, The Great Reset ini dianggap jadi upaya pertama "merancang" reset secara sadar. Ini juga yang jadi harapan sekaligus ketakutan banyak orang.

Janji Sharing Economy

Gagasan inti yang paling sering disorot dari The Great Reset adalah sharing economy atau ekonomi berbagi. Sesuai namanya, kita gak perlu punya apapun buat menikmati semuanya. Cukup sharing dengan menyewa kebutuhan kita. Mulai dari rumah, elektronik, transportasi, sampai musik pun kita tinggal membeli langganan atau subscription saja yang disediakan perusahaan-perusahaan besar. Para pendukungnya mengklaim model ini lebih efisien dan berkelanjutan, karena mengurangi limbah dan meningkatkan akses terhadap sumber daya.

Jebakan Sharing Economy

Di sisi lain, banyak juga yang berpendapat kalau sistem ini sebuah jebakan berbahaya. Kepemilikan dianggap sebagai salah satu penanda kemandirian dan kendali atas hidup. Jika kita memiliki sesuatu, kita bebas menggunakannya tanpa takut aturan berubah. Sebaliknya, dalam model sewa, hidup kita sepenuhnya bergantung pada penyedia layanan. Mereka bisa menaikkan harga, mengubah aturan, atau bahkan memutus akses kita secara sepihak.

Selain itu, kita tidak pernah bisa memiliki aset. Uang yang kita keluarkan habis begitu saja tanpa memiliki sesuatu dalam jangka panjang yang bisa mengamankan kita secara finansial. Kemudian soal data yang juga jadi jebakan yang lebih dalam. Saat kita menyewa atau berlangganan, setiap perilaku kita dicatat dan dianalisis.

Perusahaan gak cuma mengontrol akses, tetapi juga mengumpulkan data untuk memprediksi dan memanipulasi pilihan kita. Hal ini serupa dengan yang disampaikan Yuval Noah Harari dalam bukunya, Homo Deus. Dalam bukunya, kemajuan teknologi dan kecerdasan buatan tidak hanya mengubah cara kita hidup, tetapi juga berpotensi "merancang ulang" masa depan manusia itu sendiri, menjadikannya "boneka" yang lebih mudah dikendalikan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, The Great Reset sebatas gagasan yang membelah dunia. Ada pihak yang menganggap The Great Reset sebuah konspirasi besar para elit global, namun ada juga yang menganggap ini sebagai langkah yang harus dilakukan untuk memperbaiki dunia.

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan konspirasi atau keniscayaan tersebut, gejala-gejala utamanya memang sudah tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan. Fenomena seperti pergeseran ke ekonomi berbasis lingkungan, semakin dominannya ekonomi sewa (sharing economy), dan pesatnya kemajuan teknologi kini telah menjadi bagian dari realitas kita sehari-hari, entah kita setuju dengan gagasan "The Great Reset" atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun