Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desakralisasi Bumi Manusia

28 Mei 2018   09:51 Diperbarui: 29 Mei 2018   10:43 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

"Bumi Manusia" berkisah tentang fenomena kolonialisme pada akhir abad 19 -- ingat lukisan Annelies disebut bunga penghujung abad. Rumah, jalan, dokar (Delman), sekolah, kostum tentunya harus mampu menggambarkan setting waktu dan tempat secara relevan. Lagi-lagi, ini akan meruntuhkan imajinasi pembaca yang sudah berkelana menyusuri akhir abad 19 melalui daya imajinasinya yang liar. Meskipun, Pram ketika menulis novel ini juga terpaut waktu yang cukup panjang juga.

Di luar semua itu, film "Bumi Manusia" nantinya diharapkan mampu menghadirkan ide dan pesan utama dalam novel aslinya. Jangan terjebak pada satu sudut pandang, sehingga membiaskan ide pokok novel tersebut. Meskipun segmen asmara sangat kental dalam "Bumi Manusia", namun tidak bisa kemudian Film ini sebagian besar akan bergenre asmara. 

Apalagi sosok Iqbal digandeng memerankan Minke, di mana Iqbal sangat kental dengan karakter Dilan yang khas anak muda gaul.  Tema kritisme kiranya tidak begitu saja diabaikan dalam film ini nantinya. 

Pencarian jati diri Minke, seorang priyayi yang terikat adat jawa, terhenyak dan kerkagum-kagum dengan peradaban Eropa yang dianggap paling beradab, toh begitu tetap saja terjadi kekontrasan pada tradisi Eropa ini. Upaya untuk keluar dari adat Jawa, sembari menyelami tradisi Eropa yang berbasis ilmu pengetahuan inilah yang nantinya akan memberi cerita pada sekual awal Tetralogi Buru ini.

Bagaimanapun Minke adalah sosok penulis kritis, yang merupakan nisbat dari tokoh Pers nasional, Tirto Adhi Suryo. Beliaulah yang meletakkan jurnalistik sebagai media perlawanan bagi kesewenang-wenangan kolonialisme. Hingga akhirnya para petinggi kolonial harus kedodoran melawan "pena"  shohibul "Medan Prijaji" yang tajam. Hingga nantinya, sang tokoh Minke harus rela diasingkan dan dirumah kacakan.

Namun tetap saja upaya adabtasi novel ke layar lebar ini harus kita apresiasi. Kreatifitas itu harus menjadi bagian dari upaya menghidupkan karya monimental yang bernah dimiliki anak bangsa ini. 

Setidaknya, ketika difilmkan, Tetralogi Pram akan semakin populer dan dikenal khalayak ramai, khususnya kaum muda. Kita tentu ingat bagaimana novel ini pernah dilarang pada era Orde baru. Dan saat ini pun hanya sedikit kalangan yang "berani" menikmati Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak langkah dan Rumah Kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun